Asas-asas Berlakunya Ketentuan Pidana Menurut Tempat dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif
Keinginan penerapan syari’ah Islam secara konsekuen di suatu tempat merupakan suatu fenomena sosial masyarakat muslim yang sulit untuk dibendung. Demikian pula halnya yang terjadi di Indonesia, di mana sebagian besar masyarakat yang mayoritas umat Islam menghendaki syari’ah Islam dapat diberlakukan di dalam seluruh aspek kehidupan beragama. Meskipun pada awalnya di dalam perjalanan sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia tercatat bahwa pemberlakuan syari’ah Islam secara nasional dengan cara mewajibkan setiap orang yang beragama untuk taat pada agamanya selalu mendapat hambatan baik yang datang dari umat Islam sendiri maupun dari golongan non-Islam. Sehingga tidak heran kalau pada akhirnya antara pihak yang menghendaki diberlakukannya syari’ah Islam dengan pihak yang tidak menghendaki dalam hal ini diwakili oleh kebijakan pemerintah di paruh pertama orde baru seringkali tidak memihak pada kepentingan mayoritas umat Islam di Indonesia.
Pada era reformasi ini, telah terjadi perubahan peta politik nasional seiring dengan jatuhya rezim orde baru yang dimotori oleh bapak Soeharto, yakni menyangkut kebijakan politik hukum nasional yang akhir-akhir ini membawa angin segar bagi sebagian umat Islam untuk diberlakukannya syari’ah Islam di Indonesia. Di bumi serambi Mekah misalnya, saat ini masyarakat Aceh patut bergembira dengan dikeluarkannya UU No. 44 tahun 1999 tentang Keistimewaan Aceh di mana salah satu keistimewaannya adalah penerapan syari’ah Islam dalam seluruh aspek kehidupan beragama. Seiring dikeluarkannya UU tersebut, Mahkamah Agung melalui Keputusan Presiden No. 11 tahun 2003 telah meresmikan Mahkamah Syari’ah tepatnya pada tanggal 4 Maret 2003 yang mencakup kewenangan Pengadilan Agama ditambah dengan kewenangan lain yang diatur dengan Qanun No. 10 tahun 2002 meliputi al-Ahwal al-Syakhshiyah, Mu’amalah dan Jinayah.
Penerapan syari’ah Islam seperti halnya di NAD ternyata juga diminati oleh banyak daerah lain di luar NAD seperti yang dapat disebutkan di sini adalah propinsi Jawa Barat yang meliputi daerah Tasikmalaya, Cianjur dan lain-lain. Kemudian di propinsi Jawa Timur yang meliputi daerah kepulauan Madura tepatnya di Pamekasan, Gresik, Malang dan daerah-daerah lainnya. Begitu pula yang terjadi di daerah Sulawesi Selatan.
Terlepas dari masalah tentang berlakunya syari’ah Islam di berbagai daerah atau tempat di Indonesia, kiranya perlu dijelaskan di sini bahwa yang menjadi pokok permasalahannya adalah bilamana suatu daerah yang hendak menerapkan syari’ah Islam secara konsekuen, lalu bagaimana bila terjadi tindak pidana yang menyangkut lintas wilayah di luar daerah yang tidak menerapkan syari’ah Islam atau dengan kata lain memakai hukum positif. Tentunya ini akan menjadi kendala tersendiri di dalam aspek yuridisnya menyangkut pengadilan mana yang berhak mengadilinya, apakah pengadilan yang memakai hukum pidana Islam ataukah pengadilan yang memakai hukum pidana positif. Untuk sekedar diketahui bahwa yang dimaksud dengan daerah atau tempat di sini tidak hanya terbatas pada daerah-daerah yang ada di Indonesia yang bersifat regional, bisa pula daerah atau tempat diartikan sebagai suatu bentuk kekuasaan mandiri baik itu dalam bentuk daerah propinsi, negara ataupun kerajaan, yang penting di sana hukum Islam ditegakkan secara konsekuen.
Sehubungan dengan permasalahan di atas dalam penulisan skripsi ini penulis ingin mengkaji perbandingan asas-asas berlakunya ketentuan pidana menurut tempat dalam perspektif hukum Islam dan hukum positif yang terkandung dalam suatu rumusan: (1) apa yang dimaksud dengan asas-asas berlakunya ketentuan pidana menurut tempat dalam perspektif hukum Islam dan hukum positif; dan (2) bagaimana perbandingan asas-asas berlakunya ketentuan pidana menurut tempat antara perspektif hukum Islam dengan hukum positif.
Sedangkan tujuan dari yang ingin dicapai dari penulisan skripsi ini adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimana yang dimaksud dengan konsep asas-asas berlakunyaketentuan pidana menurut tempat dalam perspektif hukum Islam dan hukum positif.
2. Untuk mengetahui bagaimana perbandingan asas-asas berlakunya ketentuan pidana menurut tempat antara perspektif hukum Islam dengan hukum positif.
Pendekatan yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut adalah pendekatan teoritis yang dimaksudkan untuk membahas tentang pengertian asas-asas berlakunya ketentuan pidana menurut tempat dalam kedua perspektif tersebut dan perbandingannya secara konsep.
Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif yang merupakan studi pustaka. Pengumpulan data pada penelitian ini digolongkan menjadi 3 sumber data, yaitu sumber hukum primer, sumber hukum sekunder dan sumber hukum tertier. Dari ketiga sumber hukum tersebut kemudian dianalisa dengan menggunakan metode content analysis.
Adapun beberapa temuan penulis dalam penelititan ini, secara umum dapat digambarkan sebagai berikut: bahwa dalam perspektif hukum Islam terdapat perbedaan pandangan antara satu teori dengan teori lainnya. Akan tetapi perbedaan tersebut hanya merupakan pengembangan dari teori-teori sebelumnya yang memang antara satu teori dengan teori lainnya saling berkaitan. Bahwa dalam perspektif hukum positif, teori-teori yang ada dalam aturan perundang-undangan (KUHP) merupakan wujud dari pada asas-asas berlakunya hukum pidana menurut tempat yang telah dikenal secara umum dikalangan para sarjana hukum, yang kemudian dipositifkan ke dalam bentuk aturan-aturan yang disusun secara sistematis dalam sebuah pasal-pasal KUHP.
Bahwa dalam hal perbandingan asas-asas berlakunya ketentuan pidana menurut tempat antara perspektif hukum Islam dan hukum Positif terdapat beberapa kesamaan dan perbedaan. Kesamaan konsep perbandingan asas antara kedua perspektif tersebut dapat dilihat pada prinsip teritorialitas yang dikemukakan oleh imam-imam mazhab dengan asas teritorialitas yang dikenal dalam hukum positif. Begitu pula dengan prinsip berlakunya hukum pidana bagi penduduk yang melakukan tindak pidana (jarimah) di luar negeri menurut hukum Islam dapat dipersamakan dengan ketiga asas lainnya yang ada dalam KUHP. Adapun perbedaan asas-asas berlakunya ketentuan pidana menurut tempat antara kedua perspektif tersebut hanya merupakan prakondisi yang berbeda antara zaman lahirnya teori-teori dalam hukum Islam dengan asas-asas yang muncul dan sedang dipakai oleh peraturan perundang-undangan (KUHP) Indonesia saat ini.
Pada akhir penulisan ini ada beberapa saran yang dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan khususnya bagi kalangan praktisi ataupun pemerhati ilmu pengetahuan hukum, agar dapat mengkaji lebih dalam mengenai pengertian dan perbandingan asas-asas berlakunya ketentutan pidana menurut tempat dalam perspektif hukum Islam dan hukum positif, karena hal tersebut menyangkut kepentingan berlakunya hukum pidana Islam di antara berlakunya hukum pidana positif.
aq izin mengkopi ya,buat referensi…terimakasih..