Pelayanan Pengangkutan Pelabuhan di Cilegon
Bagian I
PENDAHULUAN
Mulai membaiknya kondisi perekonomian Indonesia pasca krisis ekonomi 1997, maka volume perdagangan luar negeri juga semakin meningkat. Seiring dengan era perdagangan bebas (AFTA, NAFTA, APEC, dll), lalu lintas barang antar negara akan semakin padat dengan adanya tuntutan penghapusan hambatan – hambatan struktural di masing – masing negara. Hal ini menuntut saluran distribusi yang dapat mendukung pergerakan barang tersebut secara efektif dan efisien. Kebutuhan atas saluran distribusi yang efektif dan efisien tentunya tidak terlepas dari kinerja sistem transportasi nasional, terutama sektor kepelabuhanan yang menjadi moda utama pergerakan barang melalui laut. Penataan sektor kepelabuhanan menjadi perhatian utama karena selama ini dinilai bahwa 30% biaya transportasi dihabiskan di pelabuhan karena kualitas pelayanan kepelabuhanan yang rendah (Bisnis Indonesia, 2003).
Perkembangan alat angkut barang melalui laut yang lebih mutakhir ternyata masih belum diimbangi dengan pelayanan kepelabuhanan yang produktif dan efisien sehingga menurunkan daya saing produk–produk ekspor Indonesia. Rendahnya kualitas pelayanan di pelabuhan tidak terlepas dari kesalahan sistem pengelolaan kepelabuhanan yang sentralistik, monopolistik dan tidak efisien. Peran pemerintah yang seharusnya sebagai regulator, dalam kenyataannya masih
diwarnai oleh kepentingan satu badan usaha (PT Pelindo). Pencampuradukan fungsi ini telah menyebabkan tersendatnya perkembangan kepelabuhanan, dan menghambat usaha untuk menciptakan iklim persaingan usaha yang sehat. Oleh karena itu, deregulasi kepelabuhanan yang akomodatif dan mengarah kepada restrukturisasi tatanan kepelabuhanan seharusnya menjadi bahan pertimbangan utama untuk memperbaiki pengelolaan kepelabuhanan di Indonesia.
Deregulasi dan restrukturisasi tatanan kepelabuhanan harus diarahkan untuk menciptakan iklim persaingan usaha yang sehat dalam kepengusahaan ekonomi di pelabuhan sehingga dapat menarik minat investor, baik asing maupun domestik, untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Iklim persaingan usaha yang sehat akan mampu mewujudkan layanan kepelabuhanan yang modern dan berdaya saing global. Masuknya investasi akan menyebabkan terjadinya modernisasi fasilitas pelabuhan dan peningkatan kualitas kinerja pelayanan kepelabuhanan serta memberikan efek berantai (multiplier effect) pada sektor lain, sehingga harapan pertumbuhan ekonomi nasional yang lebih tinggi akan dapat dicapai. Bergulirnya era otonomi daerah melalui terbitnya Undang – Undang (UU) Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang – Undang Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah telah membawa angin segar dalam penyelenggaraan pemerintahan. Kebijakan otonomi daerah ini diharapkan dapat menciptakan ruang yang lebih luas bagi kemandirian daerah dalam mengembangkan potensi dan keanekaragamannya guna mencapai kemakmuran masyarakat. Partisipasi masyarakat secara luas melalui desentralisasi, dekosentrasi dan mekanisme pasar seharusnya dikedepankan menjadi orientasi dan prioritas pemerintah dalam impelementasi otonomi, selain akuntabilitas pemerintah itu sendiri.
Kebijakan otonomi daerah seharusnya juga diikuti oleh pergeseran paradigma kebijakan publik yang sangat mendasar. Bila sebelumnya pemerintah berperilaku ganda sebagai regulator dan operator (perencana, pemberi dana, pelaksana dan penilai), maka di era otonomi daerah ini seharusnya peran pemerintah hanya sebagai regulator dan penentu standar mutu serta keselamatan umum. Peran pemerintah sebagai regulator diharapkan dapat menciptakan pasar lebih luas (demand creation) dan memelihara iklim usaha yang sehat, kondusif dan kompetitif. Peran pemerintah sebagai penentu standar mutu dan keselamatan umum diharapkan mampu memelihara daya saing produk – produk Indonesia di dalam pasar domestik dan internasional serta melaksanakan pengawasan berkaitan dengan hal ikhwal keselamatan umum di pelabuhan.
Diundangkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah menyebabkan terjadinya perubahan pola penyelenggaraan pemerintahan yang sebelumnya bersifat sentralistik menjadi desentralistik melalui otonomi daerah. UU
Otonomi daerah tersebut menyatakan tentang pemberian kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada Daerah untuk memberikan ruang yang lebih luas bagi kreativitas dan kemandirian Daerah dalam pengembangan potensinya demi kesejahteraan masyarakat. Kewenangan daerah yang dimaksud adalah kewenangan sebagai daerah otonom yang antara lain meliputi wilayah laut dan bidang perhubungan, termasuk kawasan pelabuhan. Memperhatikan permasalahan kepelabuhanan tersebut dan sebagai implementasi kewenangan Daerah sebagaimana dinyatakan UU No.22 / 1999, maka Pemerintah Kota (Pemkot) Cilegon telah memberlakukan Peraturan Daerah (Perda) Kota Cilegon Nomor 1 tahun 2001 tentang Kepelabuhanan Kota Cilegon. Perda ini pada dasarnya mengatur kepelabuhanan kota Cilegon sehingga potensi kepelabuhanan
di Cilegon dapat dikembangkan secara optimal dengan adanya kepastian hukum, iklim usaha yang kondusif serta jalur birokrasi yang mudah, murah dan cepat. Hingga saat ini, selama lebih dari dua tahun, pelaksanaan Perda No. 1/ 2001 telah memberikan kontribusi positif yang cukup signifikan bagi pengembangan kepelabuhanan di Cilegon serta menunjang pembangunan daerah. Namun demikian, Perda ini masih direspons negatif oleh Pemerintah Pusat, terutama yang berkaitan dengan aspek legalnya. Pemerintah Pusat masih belum sepenuhnya melaksanakan amanat UU Otonomi Daerah dan cenderung mempertahankan kewenangannya di kawasan pelabuhan dan dilimpahkan kepada Badan Usaha Pelabuhan / BUP (baca: PT Pelindo).
Fasilitas pelabuhan yang terdapat di kota Cilegon meliputi 2 (dua) pelabuhan umum dan 18 (delapan belas) pelabuhan khusus yang dimiliki oleh perusahaan–perusahaan yang terintegrasi dengan pabrik yang mereka miliki, khususnya industri kimia sebagai tempat masuknya bahan baku dan keluarnya hasil produksi. Dua pelabuhan umum di Cilegon adalah Pelabuhan Umum Ciwandan milik PT Pelindo II yang menangani kargo curah (curah kering dan curah cair), kontainer dan general cargo; serta Pelabuhan Ferry Penyeberangan Merak milik PT Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan (PT ASDP), yang mengangkut penumpang dari Merak (Jawa) ke Bakauheni (Sumatera).
Bagian II
KEWENANGAN DAERAH MENGATUR KEPELABUHANAN
A. Kebijakan Menghindari Sektor Monopoli
Sesuai dengan pasal 10 ayat (3) UU No.22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah, maka pemerintah kota atau kabupaten memiliki kewenangan di wilayah laut, sejauh sepertiga dari batas laut daerah propinsi. Kewenangan di wilayah laut ini meliputi: ekplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah laut tersebut, pengaturan kepentingan administratif, pengaturan tata ruang, penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan daerah dan bantuan bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara. Mengingat tatatan kepelabuhanan terkait dengan tata ruang di wilayah laut, maka pemerintah kota / kabupaten berwenang untuk menyusun master plan kepelabuhanannya sebagai bagian dari Rencana Tata Ruang Wilayah (RUTW) daerah.
Kewenangan nyata juga dimiliki pemerintah kota / kabupaten, di luar kewenangan Pemerintah Pusat dan provinsi, dalam bidang pemerintahan yang meliputi : pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, koperasi dan tenaga kerja [UU No.22/1999 pasal 11(2)]. Pelabuhan sebagaimana dinyatakan UU Nomor 21 tahun 1992 tentang Pelayaran merupakan tempat perpindahan intra dan antar moda transportasi sehingga merupakan bagian dari perhubungan. Dan dalam Pasal 119 juga dinyatakan bahwa kewenangan Kota atau Kabupaten berlaku juga pada kawasan otorita di dalam daerah otonom, yang antara lain meliputi kawasan pelabuhan. Penyerahan kewenangan – kewenangan pemerintah kota / kabupaten tersebut tidak perlu lagi dilakukan secara aktif, tetapi dilakukan melalui pengakuan oleh pemerintah (pusat) sebagaimana telah dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 11 ayat (1) UU Nomor 22 tahun 1999. Oleh karena itu, polemik masalah kewenangan pemerintah Kota atau Kabupaten di kawasan pelabuhan seharusnya tidak perlu dipermasalahkan lagi mengingat sudah cukup jelas dinyatakan oleh peraturan perundang–undangan yang berlaku.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa reformasi penyelenggaraan pemerintahan melalui otonomi, desentralisasi dan dekosentrasi tentunya juga harus mengubah paradigma kebijakan publik agar menjadi lebih diterima oleh pasar (market friendly). Usaha untuk memberdayakan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, serta peningkatan peran serta masyarakat sebagaimana hakekat dari otonomi daerah juga terkait dengan tuntutan atas kesempatan berusaha yang lebih luas dan adil melalui larangan praktik – praktik monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat. Kebijakan – kebijakan tersebut sesuai dengan UU Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Pasal 17 ayat (1) UU No. 5 / 1999 menyatakan bahwa “pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat”. Praktik monopoli sebagaimana dimaksud dalam undang – undang tersebut mengisyaratkan adanya penguasaan produk – produk dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa oleh pelaku usaha tertentu sehingga mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang dan atau jasa yang sama, satu pelaku usaha atau satu kelompok menguasai lebih dari 50 % (lima puluh prosen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu serta merugikan kepentingan umum.
Kepentingan masyarakat terhadap harga yang wajar (reasonable price) dan berkualitas baik dapat terancam karena ulah satu atau beberapa pelaku usaha yang memonopoli pasar produk dan atau jasa yang mereka butuhkan. Selain itu, dimonopolinya suatu produk dan atau jasa akan menimbulkan derajat inefisiensi
ekonomi yang tinggi karena tidak adanya persaingan yang sehat atas produk dan atau jasa tersebut. Sehingga pelaku usaha pemegang monopoli tidak akan tertarik atau termotivasi untuk menjaga efisiensi dalam produk dan atau jasa yang dihasilkan. Pelaku usaha yang dimaksud undang – undang anti monopoli adalah setiap orang atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama – sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.
Telah disadari bahwa kebanyakan fenomena monopoli dan kartel bisnis di Indonesia itu muncul sebagai akibat dari kebijakan perdagangan atau yang lebih dikenal sebagai model tata niaga. Hal inilah yang dianggap membahayakan kepentingan masyarakat (Abdul Hakim G. Nusantara & Benny K. Harman, 1999). Bentuk fenomena monopolistik dalam kegiatan usaha juga tampak dalam kepelabuhanan di Indonesia. Pelabuhan, sebagaimana menurut UU No. 21 tahun 1992 tentang Pelayaran, telah dinyatakan sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan ekonomi. Sebagai tempat kegiatan ekonomi, ± 105 unit pelabuhan umum komersial yang tersebar di Indonesia, sepenuhnya “dikuasai” oleh PT Pelindo. “Penguasaan” oleh satu pelaku usaha ini, sebagaimana kebanyakan fenomena monopoli yang terjadi di Indonesia, diciptakan dan didukung oleh pemerintah. Pemerintah meniadakan pesaing dalam pengelolaan pelabuhan sehingga menyebabkan PT Pelindo memiliki “posisi tawar yang sangat tinggi” dalam penetapan kebijakan–kebijakan kepelabuhanan Indonesia. Kebijakan–kebijakan strategis yang seharusnya menjadi kewenangan otoritas pelabuhan, seperti penetapan tarif jasa kepelabuhanan, telah dikendalikan oleh PT Pelindo (Pasal 41 ayat (2) PP 70/1996 dan SK Direksi PT Pelindo). Kenyataan ini merupakan suatu ironi mengingat fungsi otoritas pelabuhan sebagai regulator, telah dicampuradukkan oleh satu pelaku usaha untuk menetapkan kebijakan– kebijakan dasar yang mempengaruhi kepentingan publik. Banyaknya pungutan– pungutan liar dan kurang kompetitifnya total biaya handling barang di pelabuhan– pelabuhan umum komersial Indonesia menjadi cerminan betapa praktik monopolistik dalam pengelolaan kepelabuhanan ikut berperan dalam menyebabkan high cost economy produksi dalam negeri dan pada akhirnya mengurangi daya saing produk Indonesia di luar negeri.
B. Masalah Kepelabuhanan sebelum Peraturan Daerah Kota Cilegon
Kepelabuhanan, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 22 UU No. 21 / 1992 tentang Pelayaran, terdiri dari pelabuhan umum (pelum) dan pelabuhan khusus (pelsus). Pelabuhan umum diselenggarakan untuk kepentingan pelayanan masyarakat umum dan pelabuhan khusus diselenggarakan untuk kepentingan sendiri guna menunjang kegiatan tertentu. Tercatat bahwa jumlah pelabuhan umum sebanyak ± 728 unit, pelabuhan khusus ± 1.414 unit dan pelabuhan perikanan ± 540 unit. Pelabuhan – pelabuhan khusus tersebut pada umumnya telah memiliki fasilitas yang canggih yang dapat disiapkan pula untuk mendukung industri – industri daerah sekitar. Keberadaan 1.414 pelabuhan khusus (pelsus) selama ini tidak terdukung dengan baik dalam UU No. 21 / 1992, padahal jumlah pelsus – pelsus tersebut jauh lebih banyak dan sangat potensial untuk mendukung perekonomian di Indonesia sebagai negara maritim. Seiring dengan kedalaman air laut dan perkembangan alat angkutan laut (perubahan pola angkut barang dari menggunakan kapal kecil beralih menggunakan kapal besar), maka pelabuhan – pelabuhan khusus tersebut kini menghadapi kelebihan kapasitas (excess capacity) pelayanan dan seharusnya dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan publik atas jasa kepelabuhanan dengan biaya yang wajar. Hal ini dinilai lebih menguntungkan daripada membangun lagi pelabuhan – pelabuhan dengan investasi yang relatif lebih besar dan mengurangi tekananangkutan darat yang semakin padat.
1. SKB 2 Menteri Tahun 1986
Terjadinya kerancuan dalam tatanan kepelabuhanan sebenarnya dimulai ketika keluar Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri Perhubungan (waktu itu alm.Bapak Roesmin Nurjadin) dan Menteri Dalam Negeri (waktu itu alm. Bapak Soepardjo Rustam) No. 13/1986 – KM 31/AL-101/PHB-86 pada tahun 1986. SKB dimaksud mengatur tentang Batas – batas Daerah Lingkungan Kerja (DLKr) dan Daerah Lingkungan Kepentingan (DLKp) Pelabuhan Banten, yang meliputi wilayah perairan Banten (lihat gambar 2). Sebenarnya SKB ini hanyalah mengatur penyelenggaraan kegiatan kepemerintahan pelabuhan yang dilakukan oleh Administrator Pelabuhan (ADPEL) di wilayah perairan Banten, tanpa menyinggung dan menulis tentang PT Pelindo II.
2. UU No. 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran
Undang – Undang No. 21 tahun 1992 tentang Pelayaran, antara lain menyatakan klasifikasi pelabuhan berdasarkan kepentingannya (pelabuhan umum dan pelabuhan khusus). Penyelenggaraan pelabuhan umum dilakukan oleh pemerintah dan pelaksanaannya dapat dilimpahkan kepada Badan Usaha Milik Negara yang didirikan untuk maksud tersebut. Badan usaha inilah yang kemudian diartikan sebagai PT Pelindo. Hal ini menunjukkan iklim usaha monopolistik yang diciptakan oleh pemerintah.
3. Penguasaan HPL dan Pelsus Oleh PT Pelindo
Disebutkan lebih lanjut dalam UU No. 21/1992 tentang pelayaran bahwa untuk kepentingan penyelenggaraan pelabuhan umum, maka akan ditetapkan DLKr dan DLKp Pelabuhan. Namun ternyata PT Pelindo II menggunakan SKB 2 Menteri Nomor AL. 13/1986 – KM 31/AL-101/PHB-86 untuk mengklaim DLKr dan DLKp Pelabuhan Banten sehingga mereka “menguasai” hak pengelolaan lahan (HPL) tanah pantai kota Cilegon dan Serang serta HPL tanah hasil reklamasi. Implikasinya di lapangan adalah PT Pelindo II “menguasai” semua pelsus di wilayah kota Cilegon dan PT Pelindo II memungut sewa perairan kapada semua pelsus seolah – olah perairan dan daratan tersebut milik PT Pelindo II. Sungguh kenyataan ini tidak dapat diterima secara logis karena pelsus–pelsus itu diselenggarakan dengan investasi dari pemilik pelsus itu sendiri tanpa bantuan sama sekali dalam bentuk apapun dari PT Pelindo II.
4. Degradasi Pelsus Menjadi DUKS
Tahun 1996 dikeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 70 Tentang Kepelabuhanan yang merupakan petunjuk pelaksanaan Bab VI Kepelabuhanan UU No. 21 tahun 1992 tentang Pelayaran. Dalam PP 70 1996 terdapat istilah BUP sebagai penyelenggara pelabuhan, yang selalu diartikan sebagai PT. Pelindo (meskipun dalam kenyataannya tidak ada secara tegas menyebutkan bahwa BUP = PT. Pelindo). Poin terpenting lainnya adalah pernyataan bahwa Pelsus berada diluar DLKR dan DLKP Pelabuhan Umum telah dipelintir menjadi pengertian bahwa semua pelabuhan yang berada dalam DLKr / DLKp (SKB 1986) adalah bukan pelsus. Hal inilah yang menjadi titik dasar terdegradasinya pelsus menjadi apa yang diistilahkan dengan DUKS (Dermaga Untuk Kepentingan Sendiri). Pada tahun 1998 terbit Keputusan Menteri (KM) Perhubungan No. 26 / 1998 tentang Penyelenggaraan Pelabuhan Laut.
Dalam KM 26 / 1998 inilah, status pelsus secara tegas terdegradasi menjadi DUKS (Dermaga Untuk Kepentingan Sendiri) dan hal ini tentunya bertentangan dengan UU No. 21 / 1992 tentang Pelayaran yang menyebutkan bahwa hanya ada 2 (dua) jenis pelabuhan, yakni pelabuhan umum dan pelabuhan khusus.
5. Pemberlakuan Tarif Pelum Di Pelsus
Pada tahun 1997 terbit KM No. 28 / 1997 tentang Jenis, Struktur Dan Golongan Tarif Pelayanan Jasa Kepelabuhanan Untuk Pelabuhan Laut. KM ini merupakan petunjuk teknis dari PP 70/1996, dimana disebutkan pula bahwa tarif pada pelabuhan (umum) laut juga diberlakukan terhadap pelabuhan-pelabuhan khusus yang berada dalam DLKr / DLKp pelabuhan (umum) laut dimaksud.
6. Keharusan Bekerja Sama Dengan PT Pelindo
Kerancuan-kerancuan ini terus berkembang hingga pelsus juga diharuskan bekerja sama dengan penyelenggara pelabuhan umum (PT Pelindo). Kerja sama ini pada intinya mengatur tentang pembagian pendapatan jasa kepelabuhanan antara PT Pelindo selaku penyelenggara pelabuhan laut (umum) dengan pengelola DUKS-DUKS di mana pemungutan jasa kepelabuhan dilakukan oleh PT Pelindo dan PT Pelindo membaginya sesuai dengan persentase di mana besarannya diatur dan ditetapkan secara sepihak oleh PT. Pelindo (persentase dimaksud bervariasi dari mulai 50% sampai 100%). Jasa kepelabuhan yang dimaksud meliputi: uang labuh, uang tambat, dan uang demaga.
7. Penetapan Tarif Dilimpahkan Ke PT Pelindo
Pada Tahun 1999 telah dikeluarkan KM 30/1999 tentang Mekanisme Penetapan Tarif dan Formulasi Perhitungan Tarif Pelayanan Jasa Kepelabuhanan Pada Pelabuhan Yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Pelabuhan (BUP). Keputusan Menteri Perhubungan ini berintikan pernyataan bahwa Direksi BUP, berhak menetapkan tarif atas Pelabuhan BUP (pelabuhan-pelabuhan umum yang diluar pengelolaan Kantor Wilayah Perhubungan). Hal ini secara jelas telah memberikan wewenang sebagai regulator kepada Direksi PT. Pelindo untuk mengatur kepentingan umum dan memberi peluang monopoli kepada PT Pelindo sebagai satu–satunya BUP di negeri ini. Akhirnya KM tersebut ditindaklanjuti dengan Keputusan Direksi PT Pelindo pada tahun 2000 tentang tarif di pelabuhan umum, dan juga diberlakukan pada semua pelabuhan khusus.
C. Dasar-Dasar Penyusunan Perda
Peraturan Daerah Kota Cilegon Nomor 1 Tahun 2001 tentang Kepelabuhanan Di Kota Cilegon merupakan konsekuensi logis dari implementasi kebijakan otonomi daerah. Kewenangan Kota / Kabupaten yang luas, nyata dan bertanggung jawab di sektor perhubungan, dan kawasan pelabuhan pada khususnya, telah dinyatakan dalam UU No. 22 / 1999 tentang Pemerintah Daerah. Sehingga Perda No. 1/ 2001 merupakan pengejawantahan kewenangan daerah dalam pengelolaan kepelabuhanan di era otonomi daerah (pasca UU No.22 / 1999).
1. TAP MPR No. IV / MPR / 2000
Kebijakan pengaturan kepelabuhanan melalui peraturan daerah telah sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku, yakni TAP MPR No. IV / MPR / 2000 tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah. TAP MPR No. IV / MPR / 2000 telah menyatakan bahwa apabila Peraturan Pemerintah yang mengatur hal tertentu belum diterbitkan sampai akhir 2000, maka Pemda diberi kesempatan untuk mengeluarkan Perda tentang hal tersebut.
Dan hingga akhir tahun 2000, PP No. 70 / 1996 tentang kepelabuhanan masih belum selesai dan dalam proses revisi agar bisa sesuai dengan ketentuan – ketentuan otonomi daerah. Perlu diketahui bahwa hasil revisi PP No. 70 / 1996 baru keluar pada tahun 2001, tepatnya pada tanggal 17 Oktober 2001, dalam bentuk PP No. 69 / 2001 tentang Kepelabuhanan. Oleh karena itu, terbitnya Peraturan Daerah Kota Cilegon pada tanggal 28 Maret 2001 bukanlah merupakan suatu pelanggaran konstitusional mengingat TAP MPR No. IV/MPR/2000 telah mendukungnya. TAP MPR No. IV / MPR / 2000 tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah juga menyatakan bahwa kebijakan otonomi daerah diarahkan kepada pencapaian sasaran-sasaran sebagai berikut :
1. Peningkatan pelayanan publik dan pengembangan kreativitas masyarakat serta aparatur pemerintahan di daerah ;
2. Kesetaraan hubungan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah dan antar Pemerintah Daerah dalam kewenangan dan keuangan
3. Untuk menjamin peningkatan rasa kebangsaan, demokrasi, dan kesejahteraan masyarakat di daerah ;
4. Menciptakan ruang yang lebih luas bagi kemandirian daerah.
2. Upaya Membangun Iklim Usaha Yang Kondusif
Pengaturan tatanan kepelabuhanan sebagaimana dalam PP No. 70 / 1996
(maupun PP No. 69 / 2001), selain tidak sesuai dengan semangat otonomi daerah, juga masih kental dengan fenomena monopolistik penyelenggaraan kepelabuhanan yang dilarang oleh UU No. 5 / 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Pengelolaan kepelabuhanan melalui “manajemen tunggal “ oleh satu BUP telah membuat kinerja pelayanan kepelabuhanan di Indonesia ikut berperan dalam menimbulkan high cost economy. Hasil kajian tentang perlunya persaingan yang sehat di bidang kepelabuhanan dan optimalisasi daya guna pelsus – pelsus telah dipublikasikan oleh Asian Development Bank (ADB) pada bulan Agustus 2001 mengenai Deregulasi Pelabuhan Khusus di Indonesia. Dalam kajian ADB tersebut, terdapat poin – poin penting yang menjadi kesimpulannya, yakni :
1. Sangatlah bijaksana apabila kebijakan persaingan usaha kepelabuhanan dikembangkan karena akan memicu perbaikan pelayanan, efisiensi biaya dan peralatan ;
2. Pemerintah Indonesia belum perlu menambah pelabuhan, namun harus mengoptimalkan utilisasi pelabuhan – pelabuhan (khusus) yang masih rendah dan dapat dilakukan di semua daerah Indonesia di mana kondisi hinterland dan biaya transportasi daratnya sama antara Pelabuhan Khusus dan Pelabuhan Umum ;
3. Pembagian pendapatan pelabuhan khusus ke PT Pelindo sifatnya hampir sama dengan pajak karena telah menjadi kewajiban. Hal ini melemahkan posisi pelabuhan khusus ;
4. Dampak deregulasi PP 70 / 1996 dan UU No. 21 / 1992 akan lebih memicu usaha recovery jangka pendek yang sangat dibutuhkan saat ini maupun jangka panjang. Dasarnya dengan optimalisasi kapasitas semua pelabuhan khusus di Indonesia yang pada akhirnya akan memberikan daya tarik investasi skala besar.
Oleh karena itulah, diperlukan adanya kebijakan tentang kepelabuhanan yang menempatkan PT Pelindo II sebagai entitas bisnis yang sejajar dengan pengelola pelabuhan (khusus) lain serta memberi ruang yang lebih luas bagi para pelaku usaha lain, di luar PT Pelindo, untuk menyelenggarakan pelabuhan.
D. Pokok-Pokok Isi Perda
Peraturan Daerah Kota Cilegon Nomor 1 tahun 2001 tentang Kepelabuhanan di Kota Cilegon telah diundangkan sejak tanggal 28 Maret 2001 sebagai perwujudan dari aspirasi rakyat Cilegon melalui DPRD kota Cilegon. Secara ringkas, pokok – pokok isi Perda No. 1 / 2001 ini adalah sebagai berikut :
1. Perda Kota Cilegon No. 1 / 2001 berusaha menegakkan kewenangan dan tanggung jawab Pemerintah Daerah di wilayah laut dan bidang perhubungan, khususnya kepelabuhanan, sesuai dengan perundang – undangan yang berlaku. Hal ini telah dinyatakan di bagian konsideran, yakni dalam rangka pelaksanaan Otonomi Daerah di bidang perhubungan. Berkaitan dengan otonomi daerah tersebut, maka landasan hukum utama Perda No. 1 / 2001 adalah UU No. 5 / 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan TAP MPR No. IV / MPR / 2000 tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah ;
2. Perda Kota Cilegon No. 1 / 2001 dimaksudkan untuk mengoptimalkan potensi geostrategic kepelabuhanan kota Cilegon sehingga mampu menunjang pembangunan daerah. Hal ini dinyatakan secara jelas pada pasal 4 ayat (2) dan penjelasan umum Perda ;
3. Perda Kota Cilegon No. 1 / 2001 berusaha menghilangkan praktik – praktik monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat dalam hal kepengusahaan kegiatan ekonomi di pelabuhan wilayah kota Cilegon, karena hal ini tidak sesuai dengan perundang – undangan yang berlaku serta menghambat pertumbuhan ekonomi daerah. Perda memberikan kewenangan penuh kepada masing– masing penyelenggara pelabuhan (BUMN, BUMD, Swasta & Koperasi) untuk melaksanakan fungsi ekonomi pelabuhan dan penunjangnya (Pasal 7 ayat (3)) dan melaksanakan kerjasama antar penyelenggara dan atau dengan Pemerintah Daerah berdasarkan asas saling menguntungkan, prinsip kesetaraan dan menunjung tinggi peraturan yang berlaku (pasal 31 dan 32). Perda Kota Cilegon No. 1 / 2001 juga memberi kedudukan yang setara kepada penyelenggara pelabuhan umum dan pelabuhan khusus, di mana untuk kepentingan penyelenggaraan pelabuhan ditetapkan DLKr dan DLKp pelabuhan masing-masing yang berdiri sendiri dan tidak saling membawahkan (pasal 7 – 13). Struktur, golongan, jenis dan besaran tarif pelayanan jasa kepelabuhanan ditetapkan melalui Perda dengan memperhatikan usulan dari penyelenggara pelabuhan (pasal 33 – 36) agar dapat melindungi kepentingan umum. Perda telah menyatakan tidak berlaku semua perjanjian antara PT Pelindo II Cabang Banten dengan pengelola Pelabuhan Khusus dan DUKS mengenai sewa perairan, kerja sama operasi pengoperasian pelabuhan dan lain – lain yang tidak sesuai dengan Perda No.1 / 2001, serta tidak memberlakukan SKB 2 menteri No. AL 13 / 1986 dan No. KM 31/AL101/PHB-86 tentang Batas – batas Daerah Lingkungan Kerja (DLKr) dan Daerah Lingkungan Kepentingan (DLKp) Pelabuhan Banten di wilayah kota Cilegon (Pasal 42) ;
4. Perda Kota Cilegon No. 1 / 2001 mengatur secara jelas dan terpisah antara fungsi kepemerintahan dan fungsi kepengusahaan ekonomi di pelabuhan. Fungsi kepemerintahan di pelabuhan, meliputi fungsi regulasi, penetapan standar mutu serta pengawasan terhadap keselamatan pelayaran, dilaksanakan oleh instansi pemerintah (pusat) dan Pemerintah Daerah telah diatur dalam pasal 25 dan pasal 26 Perda ini. Sedangkan pasal 28 – pasal 30 mengatur fungsi kepengusahaan ekonomi yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelabuhan ;
5. Perda Kota Cilegon No. 1 / 2001 juga mengatur tentang kewajiban penyelenggara pelabuhan menyediakan fasilitas penampungan limbah di pelabuhan (pasal 37) dan kepengusahaan penampungan limbah dari kapal oleh Badan Hukum Indonesia (pasal 38) ;
6. Tidak ada ketentuan dalam Perda No. 1/ 2001 ini yang memuat ketentuan untuk menguasai PT Pelindo II Cabang Banten. Justru dengan Perda ini diharapkan pertumbuhan PT Pelindo II Cabang Banten, sebagaimana penyelenggara pelabuhan – pelabuhan lain, beroperasi melalui iklim berusaha yang kompetitifdan kondusif ;
7. Perda Kota Cilegon No.1 / 2001 mengatur tentang pembentukan Dewan Maritim Kota yang membahas masalah – masalah teknis kemaritiman di kota Cilegon dan memberi masukan kepada Pemda (pasal 39).
Bagian III
KESIMPULAN
Implementasi Perda No. 1 / 2001 yang telah berjalan lebih dari 2 (dua) tahun ini memberikan beberapa keuntungan dan potensi bagi semua pihak. Keuntungan dan potensi ini dapat dilihat dari perspektif pengguna jasa, penyelenggara pelabuhan, pemerintah kota maupun masyarakat :
1. Pelayanan Terbaik Bagi Pengguna Jasa Kepelabuhanan
Ditinjau dari perspektif pengguna jasa kepelabuhanan, maka implementasi Perda ini memberikan keuntungan berupa banyaknya pilihan alternatif pelayanan yang bisa dipergunakan akibat dihapuskannya praktik – praktik monopoli kepengusahaan ekonomi di pelabuhan oleh PT Pelindo II. Iklim persaingan usaha yang sehat yang berusaha diciptakan Pemerintah Kota melalui Perda No.1 / 2001 ini tentunya membuat masing-masing penyelenggara pelabuhan bersaing dalam memberikan pelayanan yang terbaik dan efisien bagi pengguna jasanya. Bukti konkritnya mungkin dapat dilihat dari pelayanan pemanduan dan penundaan kapal oleh Pemda Cilegon, di mana pengguna jasa diuntungkan dengan persaingan antara PT Pelindo II dengan PD PCM, baik dalam memberikan pelayanan yang mudah, cepat, andal, aman dan efisien.
2. Optimalisasi Pelsus
Dilihat dari perspektif penyelenggara pelabuhan, maka implementasi Perda No. 1 / 2001 memberikan keuntungan, antara lain:
- Pengelola pelabuhan – pelabuhan khusus diakui sebagai pelaku usaha yang sejajar dengan PT Pelindo II ;
- Dihapuskannya kerja sama operasi dengan PT Pelindo II yang relatif tidak menguntungkan bagi pengelola pelabuhan khusus ;
- Pengelola pelabuhan khusus dapat memungut sendiri pendapatan jasa kepelabuhanan mereka ;
- Pengelola pelabuhan khusus mendapatkan tambahan penerimaan sebagai imbalan investasi yang telah dikeluarkannya akibat dihapuskannya kewajiban sharing pendapatan dengan PT Pelindo II;
- Pelayanan izin penyelenggaraan pelabuhan yang relatif lebih mudah, murah dan cepat di tingkat daerah (dibandingkan bila via pusat) ;
- Pelabuhan – pelabuhan khusus dimungkinkan untuk dapat mengoptimalkan daya guna dermaganya karena hanya memerlukan izin dari Walikota saja untuk melayani kepentingan umum ;
- Status tanah reklamasi yang dilakukan oleh pengelola pelabuhan khusus tidak lagi menjadi milik PT Pelindo II
Perda Kota Cilegon No. 1 / 2001 tentang Kepelabuhanan di Kota Cilegon merupakan perwujudan kewenangan Pemerintah Daerah yang nyata, luas dan bertanggung jawab di wilayah laut serta di bidang perhubungan, khususnya kawasan pelabuhan, sebagaimana yang dinyatakan oleh UU No. 22 / 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Perda ini telah memberikan manfaat yang nyata bagi para penyelenggara pelabuhan, pengguna jasa kepelabuhanan, investor, pemerintah kota dan masyarakat pada umumnya. Perda 1/ 2001 telah memberikan jaminan kepastian hukum berusaha di bidang kepelabuhanan. Melalui pemeliharaan iklim persaingan yang sehat, anti monopolistik dan memperpendek jalur birokrasi, maka Perda berusaha mewujudkan efisiensi pelayanan jasa kepelabuhan. Dengan iklim usaha yang kondusif tersebut diharapkan dapat menarik minat investor untuk menanamkan modalnya di Cilegon sehingga memacu pertumbuhan ekonomin daerah, sebagai bagian dari pertumbuhan ekonomi nasional. Namun demikian, masih diperlukan dukungan lebih lanjut dari pemerintah pusat agar nilai manfaat ini dapat terus dirasakan bagi masyarakat. Dukungan yang dimaksud berupa perubahan paradigma yang mendasar dalam menyikapi UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat serta diharapkan dapat lebih arif dalam melihat kebutuhan dunia usaha kepelabuhanan pada umumnya. Upaya deregulasi dan restrukturisasi terhadap tatanan kepelabuhanan nasional yang berlaku sekarang, sebagaimana yang telah diatur dalam UU No. 21 / 1992 tentang Pelayaran, PP No. 69 / 2001 tentang Kepelabuhanan beserta peraturan pendukungnya (KM No. 53, 54, 55 dan 56 tahun 2002) sangatlah diharapkan agar
mampu mengakomodasi aspirasi daerah.
jadi penasaran…Boleh minta perda cilegon no.1 tahun 2001 tentang kepelabuhanan gak bro…pls yah..bentuk pdf ajah di emailq..thax
regards
yahya septerio dwi putra
thanx bgt,sgt membantu saya untuk nyusun skripsi
Terimakasi buat bahan ajar dan tulisan.