POLISI SEBAGAI “AKSES” KE PENGADILAN
BAB I
KONTEKS STUDI
A. Latar Belakang
Hukum pidana dan hukum acara pidana sejak awal keberadaannyadiperuntukan bagi perlindungan masyarakat terhadap kesewenang-wenanganpenguasa. Oleh karenanya, sering dikatakan bahwa fungsi dari aturan hukum acara pidana adalah untuk membatasi kekuasaan negara dalam bertindakterhadap warga masyarakat yang terlibat dalam proses peradilan pidana. Ketentuan-ketentuan dalam hukum acara pidana antara lain berfungsi untuk melindungi para tersangka dan terdakwa, terhadap tindakan aparat penegak hukum dalam menjalankan fungsi penegakan hukum melalui lembaga peradilan. Peradilan pada hakekatnya merupakan lembaga tempat setiap warga masyarakat memperjuangkan, memperoleh dan mempertahankan hak-haknya.
Khusus mengenai peradilan pidana, maka fungsi dari lembaga-lembaga ini menjadi demikian penting karena di sinilah hukum pidana dan hukum acara pidana sebagai cabang hukum yang paling berkaitan dengan hak-hak asasi manusia akan diuji dan ditegakkan.
Peradilan pidana sebagai tempat pengujian dan penegakkan hak-hak asasi manusia memiliki ciri khusus, yaitu terdiri dari sub-sub sistem yang merupakan kelembagaan yang berdiri sendiri-sendiri, tetapi harus bekerja secara terpadu agar dapat menegakkan hukum sesuai harapan masyarakat pencari keadilan.
Proses peradilan pidana yang terdiri dari serangkaian tahapan mulai dari penyelidikan, penyidikan, penangkapan, penahanan, penuntutan, pemeriksaan di persidangan, hingga pemidanaan, merupakan kegiatan yang sangat kompleks dan dapat dikatakan tidak mudah difahami serta kadang kala menakutkan bagi masyarakat awam.
Persepsi yang demikian tidak dapat dihindari sebagai akibat banyaknya pemberitaan di media massa yang menggambarkan betapa masyarakat sebagai pencari keadilan seringkali dihadapkan pada kondisi-kondisi yang tidak menyenangkan, baik disebabkan oleh ketidaktahuan mereka akan hokum maupun perlakuan tidak simpatik dari aparat penegak hukum. Keberadaan perundang-undangan yang khusus memberikan
perlindungan dan hak-hak pada mereka terlihat belum tegas. KUHAP telah
merumuskan sejumlah hak yang dimiliki seorang warga masyarakat yang
terlibat dalam suatu peristiwa pidana terutama dalam kedudukannya sebagai
pelaku. Namun dalam kenyataannya tidak jarang timbul permasalahan sehubungan dengan pemenuhan hak-hak tersebut. Hak untuk memperoleh bantuan hukum, sebagai suatu contoh, masih merupakan suatu ”barang mewah” yang sulit dijangkau terutama oleh pelaku yang tidak mampu. Padahal harus diakui bahwa sebagian besar pelaku tindak pidana adalah mereka dari golongan yang tidak mampu dan buta hukum, sehingga bantuan hukum merupakan hal yang mutlak diperlukan bila ingin dicapai peradilan yang layak dan jujur (fairtrial). Sulit dan tidak murahnya memperoleh informasi yang berkaitan dengan kasus dan salinan putusan merupakan suatu permasalahan khusus yang sekaligus menjadi tolok ukur bahwa transparansi belum sepenuhnya merupakan asas yang menjadi dasar bekerjanya sistem peradilan pidana di negara kita.
Padahal transparansi yang sehat (tidak menghambat jalannya proses peradilan pidana) merupakan kesempatan bagi publik untuk melakukan kontrol dan koreksi terhadap kinerja aparat penegak hukum.
Semua hal yang dikemukakan di atas menunjukkan bahwa masyarakat memang berada dalam posisi yang lemah, apalagi bila berhadapan dengan sistem peradilan pidana. Ketidaktahuan akan prosedur hukum, terutama pada masyarakat awam, merupakan masalah utama di samping rendahnya tingkat kepastian hukum yang menjadi kendala akses masyarakat ke peradilan.
Dalam khasanah hukum acara pidana terdapat suatu adagium yang menyatakan “ubi jus ibi remedium” yang berarti di mana ada hak di sana ada kemungkinan menuntut, memperolehnya atau memperbaikinya bilamana hak tersebut dilanggar. Konsekuensi logis dari adagium ini adalah hanya terdapat hak apabila terdapat kemungkinan untuk menuntut. Demikian pula sebaliknya, tidak dapat dikatakan terdapat hak apabila tidak terdapat kemungkinan untuk melakukan penuntutan atau perlindungan terhadap hak tersebut. Dari paparan di atas, dapat disimpulkan ada keterbatasan ketentuan perundang-undangan yang memberikan hak pada warga negara untuk memperoleh akses ke peradilan. Oleh karenanya, dalam keterbatasan tersebut perlu ditekankan agar aparat penegak hukum mematuhi aturan hokum beracara yang telah ada dalam rangka memberikan perlindungan kepada warga masyarakat, dalam kedudukannya sebagai pelayan publik.
Penelitian ini memfokuskan kajian tentang hak-hak yang telah diatur dalam ketentuan perundang-undangan Acara Pidana di Indonesia, dan bagaimana pula implementasi hak-hak yang telah diatur tersebut. Meski disadari bahwa tidak semua hak-hak yang seharusnya diberikan telah diatur dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, namun mengoptimalkan yang ada adalah lebih baik daripada merumuskan yang belum ada, sementara yang telah diatur tidak dilaksanakan dengan baik. Dengan cara ini diharapkan dapat dicapai maksud utama dari sistem peradilan pidana yaitu penegakan hokum pidana yang berkeadilan.
B.Permasalahan
Berdasarkan latar belakang seperti terurai di atas, maka permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
- Hak-hak apa sajakah yang dimiliki warga masyarakat untuk memperoleh akses ke peradilan ?
- Sejauhmanakah hak-hak yang telah dimiliki itu diimplementasikan ?
- Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi implementasi hak-hak tersebut ?
- Bagaimana persepsi publik dan realita tentang akses ke peradilan yang ada dalam masyarakat ?
- Langkah-langkah apakah yang perlu dilakukan untuk meningkatkan akses masyarakat ke peradilan ?
C. Maksud dan Tujuan
Penelitian ini dilaksanakan untuk memperoleh data yang pada gilirannya akan diolah dan dianlisis, sehingga pada akhirnya dapat diusulkan berbagai rekomendasi yang ditujukan untuk :
- Tercapainya rasa keadilan di dalam proses hukum yang benar dan dapat melindungi kepentingan hukum masyarakat terutama yang tidak mampu (tersangka, korban dan saksi) baik dari segi perundang-undangan maupun implementasinya.
- Ditingkatkannya kepekaan profesionalisme lembaga dan personel subsistem peradilan pidana agar setiap aparat menyadari tugas dan tanggungjawabnya sebagai pelayan publik dan tidak melakukan tindakan yang dapat melecehkan korban, tersangka atau saksi;
- Meningkatkan sistem pelayanan publik dalam proses peradilan pidana untuk memantapkan bekerjanya sistem peradilan pidana sebagai pelindung masyarakat.
D. Sasaran
Melalui penelitian ini, diupayakan untuk melakukan identifikasi masalah yang berkaitan dengan:
ø Ketentuan perundang-undangan yang berkenaan dengan hak-hak warga masyarakat dalam proses peradilan pidana;
ø Pelaksanaan proses peradilan pidana untuk menjamin adanya akses publik dalam proses ini;
ø Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap jalannya proses peradilan pidana yang berkenaan dengan hak warga masyarakat baik sebagai tersangka, korban maupun saksi untuk memperoleh keadilan.
ø Rekomendasi tentang langkah-langkah yang harus dilakukan untuk memastikan terwujudnya akses publik ke keadilan misalnya:
– Perumusan ketentuan perundang-undangan yang secara tegas mengatur mengenai hak setiap pihak yang terlibat dalam proses peradilan pidana dalam memperoleh keadilan;
– Peningkatan pelayanan publik yang dilakukan oleh para penegak hokum (baik lembaga maupun personel) sesuai dengan fungsinya masingmasing;
– Peningkatan sistem manajemen untuk menjamin agar setiap pihak yang terlibat memperoleh hak mereka atas keadilan.
F. Metode Penelitian
Untuk menjawab permasalahan-permasalahan di atas akan dilakukan penelitian melalui studi dokumen (documentary research) dan studi lapangan (fieldresearch).
- Studi dokumen
Studi dokumen dilakukan dengan melakukan kompilasi dan analisis terhadap peraturan perundang-undangan yang memberi hak pada warga masyarakat untuk memperoleh akses ke peradilan. Dari penelitian dokumen ini akan diketahui hak-hak apa saja yang telah diberikan oleh peraturan perundangundangan.
2. Studi lapangan
Studi lapangan antara lain bertujuan untuk mengetahui implementasi hak-hak warga masyarakat dan persepsi warga masyarakat tentang haknya untuk memperoleh akses ke peradilan. Masyarakat, dalam hal ini sebagai pihak yang langsung berkepentingan dalam proses peradilan (tersangka, terdakwa, terpidana, korban) maupun sebagai warga masyarakat yang dilibatkan sebagai saksi. Selain mereka, maka para tokoh masyarakat yang menjadi pengurus di lingkungannya (seperti RT, RW) atau pemuka agama yang biasanya menjadi tempat masyarakat melaporkan/mengadukan tindak pidana yang terjadi, juga termasuk dalam kategori masyarakat. Di samping itu ada satu kelompok lagi yang masuk kategori masyarakat; mereka itu adalah institusi atau lembaga, baik yang dibentuk oleh pemerintah ataupun berupa lembaga swadaya masyarakat.
Dalam penelitian ini merekapun merupakan responden yang akan diperoleh
informasinya karena pada kenyataannya banyak warga masyarakat yang
melaporkan/mengadukan permasalahan mereka kepada lembaga-lembaga ini.
Sebagai kriteria pembeda dengan responden yang masuk dalam kelompok
penasihat hukum, lembaga ini tidak memberikan bantuan hukum di pengadilan.
Aparat penegak hukum sebagai pelaksana hukum yang harus menegakkan
keadilan yang dituntut oleh masyarakat dan bertindak sebagai pelayan publik
juga akan menjadi responden yang akan diperoleh informasinya. Aparat
penegak hukum yang dimaksud terdiri dari Polisi, Jaksa Penuntut Umum,
Hakim, Panitera Kepala dan Petugas LAPAS/Rutan.
Kalangan akademisi, sebagai pihak yang dapat memberikan penilaian
yang obyektif dari kacamata teoritis, akan pula menjadi responden yang sangat
diharapkan akan memberikan masukan yang dapat memperkaya hasil kajian ini.
a. Responden dan Lokasi Penelitian
Lokasi yang dipilih sebagai tempat untuk melakukan studi lapangan dalam
rangka kajian ini adalah wilayah Jabotabek (Jakarta meliputi kelima wilayah
kotamadyanya, Bogor dan Depok, Tangerang serta Bekasi). Selain
pertimbangan biaya dan waktu, kedudukan Jabotabek sebagai wilayah yang
berkembang pesat di bidang teknologi dan informasi, di samping itu – terutama
kedudukan Jakarta sebagai pusat pemerintahan negara — diharapkan dapat
menjadi barometer bagaimana warga masyarakat (di Indonesia) memperoleh
akses ke peradilan .
Penentuan responden dalam studi lapangan akan dilakukan secara
purposive. Responden yang berasal dari kalangan lembaga penegak hukum,
pengacara, akademisi dan masyarakat itu akan berjumlah 269 orang. Kecuali
responden dari kalangan akademisi sebanyak 7 orang, perincian jumlah
responden lainnya (berdasarkan wilayah dan kedudukannya) sebagai berikut:
Polisi Jaksa PN LAPAS Pengacara Masy Jml
Untuk kategori penegak hukum, responden dilengkapi dengan 4 orang
petugas dari Balai Pemasyarakatan (BAPAS) wilayah Jakarta, yang berperan
dalam pembinaan terpidana di luar lembaga.
b. Alat dan Teknik Pengumpulan Data
Informasi dan data dari para responden diperoleh melalui pengisian
kuesioner dan wawancara. Oleh karena itu instrumen yang digunakan dalam
penelitian ini berupa kuesioner (questionnaire) dan pedoman wawancara
(interview guide). Kuesioner semi tertutup digunakan untuk memperoleh data
dari sebagian besar responden, sedangkan pedoman wawancara menjadi
panduan dalam mewawancarai para pimpinan lembaga, akademisi, dan
responden tertentu yang menurut penilaian peneliti dapat memberikan data dan
informasi yang mendalam. Penelitian ini menggunakan 14 (empat belas) jenis
kuesioner, sesuai dengan kategori responden tersebut di atas dengan perincian
sebagai berikut:
No. Jenis Kuesioner Jumlah
1. Polisi 30
2. Jaksa Penuntut Umum 27
3. Hakim 19
4. Panitera Kepala 9
5. Petugas LAPAS/RUTAN 14
6. Kepala LAPAS 6
7. Petugas Bapas 4
8. Penasihat Hukum 18
9. Tersangka/terdakwa 42
10. Saksi/Saksi korban 42
11. Napi 21
12. Warga Masyarakat (perorangan) 18
13. Warga Masyarakat (institusi) 12
14. Akademisi 7
Selanjutnya data yang diperoleh akan diolah dengan menggunakan
statistik sederhana dan dianalisis secara kualitatif.
G. Jadwal Kegiatan
Kegiatan diawali dengan penandatanganan kontrak antara KHN dengan
Sentra HAM FHUI selaku Kelompok Kerja (KK) pada minggu kedua bulan
Januari 2002. Dalam waktu seminggu setelah penandatanganan kontrak, KK
membuat laporan awal yang berisi rencana kegiatan-kegiatan persiapan untuk
memulai penelitian. Bersamaan dengan itu, KK telah mulai melakukan studi
kepustakaan, sebagai bahan untuk membuat instrumen penelitian. Di samping
itu dilakukan juga studi terhadap dokumen hukum, dengan mencari peraturan
perundang-undangan Indonesia yang berkaitan dengan masalah akses ke
peradilan, khususnya yang mengatur hak-hak warga masyarakat. Studi pustaka
dilakukan selama lima minggu, sejak minggu ketiga Januari 2002 sampai
dengan minggu ketiga Februari 2002.
Penelitian lapangan diawali dengan pembuatan instrumen penelitian
berupa kuesioner dan pedoman wawancara, selama dua minggu (yaitu minggu
keempat bulan Januari 2002 sampai dengan minggu pertama Februari 2002; yang
dilanjutkan dengan uji coba instrumen penelitian tersebut. Dari uji coba yang
dilakukan dalam waktu 2 minggu (minggu kedua sampai dengan ketiga
Februari 2002) dapat diketahui apakah instrumen penelitian akan dapat
menjawab permasalahan yang diteliti. Selain itu, pada saat uji coba juga dapat
diketahui surat-surat izin yang dibutuhkan ketika akan melakukan penelitian lapangan yang sesungguhnya. Setelah memperbaiki instrumen penelitian, pada
minggu keempat Februari 2002 penelitian lapangan dimulai. Pada saat yang
bersamaan, KK mengadakan pertemuan yang pertama dengan Sub Komisi F.
Dalam pertemuan tersebut, KK melaporkan hasil uji coba dan memperoleh
masukan mengenai proposal dan instrumen penelitian. Penelitian lapangan
berlangsung selama 10 minggu, sampai dengan minggu pertama bulan Mei.
Pengolahan data hasil penelitian dimulai pada minggu ketiga bulan
Maret. Pengolahan data dilakukan selama 8 minggu, sejalan dengan pelaksanaan
penelitian lapangan karena data terkumpul secara bertahap. Pada minggu ketiga
Maret itu juga dilaksanakan pertemuan kedua dengan Sub Komisi. Dalam
pertemuan kedua ini, KK melaporkan hasil sementara penelitian lapangan
berdasarkan data yang diperoleh selama tiga minggu, sekaligus menyerahkan
laporan sementara. Laporan sementara berisi hasil penelitian kepustakaan dan
hasil sementara penelitian lapangan. Setelah hampir seluruh data dari penelitian
lapangan terkumpul dan diolah, pada minggu pertama Mei 2002 KK mulai
mengananalisisnya. Kegiatan menganalisis data ini berlangsung selama satu
bulan. Sambil menganalisis data, KK mulai menulis laporan hasil penelitian. Dua
kegiatan ini selesai pada bulan Mei. Pada minggu terakhir bulan Mei itu juga
dilakukan pertemuan ketiga dengan Sub Komisi. Dalam pertemuan tersebut KK
melaporkan hasil penelitian sementara yang telah dibuat dan persiapan
workshop pertama yang dilaksanakan pada minggu kedua Juni 2002. Setelah
melaksanakan workshop I yang bertujuan menyebarluaskan hasil penelitian dan
mencari masukan terhadap hasil penelitian. Pada minggu ketiga Juni 2002
dilaksanakan pertemuan keempat dengan Sub Komisi. Dalam pertemuan yang
terakhir dengan Sub Komisi ini dilaporkan hasil workshop I dan persiapan untuk
workshop II. Workshop II yang dilaksanakan di minggu terakhir Juni 2002
membahas kesimpulan dan rekomendasi hasil studi.
Setelah seluruh rangkaian kegiatan, yang berupa pengumpulan data,
analisis data dan workshop, dilaksanakan; KK menyerahkan rancangan I laporan akhir pada minggu kedua Agustus 2002. Tiga minggu kemudian, rancangan II
laporan akhir yang merupakan revisi rancangan I, diserahkan. Berdasarkan
masukan dari PCU KHN, Mentor dan beberapa anggota Sub Komisi yang
disampaikan pada KK di minggu kedua Desember 2002, kemudian rancangan
ini direvisi kembali. Naskah Laporan Akhir akhirnya disetujui pada awal bulan
Januari 2003 dan harus diserahkan ke KHN pada minggu keempat di bulan yang
sama.
H.Laporan Penelitian
Laporan hasil penelitian terdiri dari 7 (tujuh) bab, yang terinci sebagai berikut:
Bab I Konteks Studi
Bab II Polisi sebagai ”Pintu Gerbang” Akses Ke Peradilan Pidana
Bab III Peranan Jaksa dalam upaya Peningkatan Akses Publik ke Peradilan
Pidana
Bab IV Peranan Hakim Dalam Akses Ke Peradilan Pidana
Bab V Akses Ke Peradilan Dalam Tahap Purna Ajudikasi
Bab VI Pandangan Akademisi Terhadap Masalah Akses Ke Peradilan
Bab VII Kesimpulan dan Rekomendasi
BAB II
POLISI SEBAGAI “PINTU GERBANG” AKSES KE PERADILAN PIDANA
Dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, khususnya dalam Pasal 5 disebutkan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. Kemudian, di dalam Pasal 13 disebutkan bahwa tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah:
(1) memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
(2) menegakkan hokum dan;
(3) memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.
Dari serangkaian tugas kepolisian, salah satu tugas yang mendapatkan
perhatian adalah tugas dalam rangka menegakkan hukum. Sebagai penegak
hukum, polisi masuk dalam jajaran sistem peradilan pidana, sebagai salah satu
subsistem. Subsistem yang lain adalah kejaksaan, kehakiman, dan
pemasyrakatan. Dalam sistem peradilan pidana, polisi merupakan “pintu
gerbang” bagi para pencari keadilan. Dari sinilah segala sesuatunya dimulai.
Posisi awal ini menempatkan polisi pada posisi yang tidak menguntungkan.
Sebagai penyidik polisi harus melakukan penangkapan dan (bila perlu) penahanan, yang berarti polisi harus memiliki dugaan yang kuat bahwa orang
tersebut adalah pelaku kejahatan. Satjipto Rahardjo menyebut tugas kepolisian
sebagai “multi fungsi”, yaitu tidak sebagai polisi saja tetapi juga sebagai jaksa
dan hakim sekaligus.12
Sebagai penegak hukum, tugas kepolisian telah dicantumkan dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam KUHAP, wewenang
kepolisian baik sebagai penyelidik maupun sebagai penyidik telah dicantumkan
secara terperinci dalam Pasal 5 dan seterusnya.
Dari rangkaian tugas penegakan hukum dapat diketahui bahwa tugas
kepolisian bukan merupakan tugas yang ringan. Dengan segala keterbatasan,
ketrampilan dalam melakukan penyidikan masih tetap harus ditingkatkan guna
“mengejar” modus kriminalitas yang semakin kompleks.
Sering terjadi keluhan dalam masyarakat, bahwa tugas yang dilakukan
oleh kepolisian dalam rangka penegakan hukum, acapkali melanggar aturanaturan
yang telah ditentukan. Aparat kepolisian dianggap tidak menghormati
hak-hak yang dimiliki tersangka serta sering melakukan kekerasan dalam
memeriksa tersangka. Kekuasaan yang dimiliki oleh penyidik, masih menjadi
faktor penentu dalam melakukan penegakan hukum, sehingga terdapat
kecenderungan ketidakpercayaan pada lembaga kepolisian. Hal ini tentunya
sangat merugikan pihak kepolisian serta proses peradilan pidana secara
keseluruhan.
A. Landasan Yuridis
Tugas polisi, baik sebagai penyelidik maupun penyidik, telah diatur
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Jika ditelaah
ketentuan yang berkaitan dengan tugas penyelidikan dan penyidikan, nampak
bahwa tugas-tugas yang dilakukan sudah cukup terperinci. Selain apa yang
12 Satjipto Rahardjo, Studi Kepolisian Indonesia : Metodologi dan Substansi, Makalah Disampaikan
Pada Simposium Nasional Polisi Indonesia, Diselenggarakan Oleh Pusat Studi Kepolisian FH Undip
Bekerjasama Dengan Akademi Kepolisian Negara (AKPOL) dan Mabes Polri, Semarang, 19 –20 Juli 1993.
tercantum dalam KUHAP, tugas kepolisian dalam rangka penegakan hukum
juga harus mengacu pada UU No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
Dari berbagai tugas dan kewenangan yang dimiliki Polri dalam
menjalankan tugas sebagai penegak hukum, yang perlu mendapatkan perhatian
adalah ketentuan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 19 UU No.2 Tahun
2002, yang menyatakan bahwa “dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya,
pejabat Polri senantiasa bertindak berdasarkan norma hukum dan
mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan, serta menjunjung tinggi
hak asasi manusia”. Dari ketentuan tersebut, penghormatan terhadap hak asasi
manusia telah mendapatkan penekanan khusus dalam rangka pelaksanaan tugas
Polri.
Penghormatan hak asasi manusia dalam peradilan pidana telah dimulai
dengan memberikan serangkaian hak kepada tersangka/terdakwa. Sayangnya
apabila dikaji secara cermat, pemberian hak kepada tersangka/terdakwa
ternyata tidak dibarengi dengan kewajiban dari aparat penegak hukum,
sehingga serangkaian hak tersebut hanyalah sebagai ketentuan normatif yang
tidak memiliki kekuatan hukum. Selain itu pelanggaran terhadap ketentuan
hukum yang berkaitan dengan hak-hak tersangka juga tidak dibarengi sanksi,
sehingga pelanggaran-pelanggaran terhadap hak-hak yang telah diberikan
KUHAP masih tetap berlangsung.
Permasalahan yang berkaitan dengan tugas kepolisian dalam
melaksanakan penegakan hukum, juga harus berpedoman pada ketentuanketentuan
internasional. Deklarasi PBB yang berkaitan dengan hak asasi manusia
perlu pula diperhatikan. Misalnya, UU No.5 Tahun 1998 tentang Pengesahan
Konvensi Menentang Penyiksaan Dan Perlakuan atau Penghukuman Lain Yang
Kejam, Tidak manusiawi Atau Merendahkan Martabat Manusia, perlu pula
dipergunakan sebagai patokan dalam melaksanakan tugas, meskipun hingga
kini negara kita belum menindaklanjuti dengan membentuk suatu UU.
B. Temuan Penelitian Dan Pembahasan
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, aparat kepolisian baik
sebagai penyelidik maupun sebagai penyidik, merupakan “pintu gerbang”
proses peradilan pidana. Semuanya berawal dari suatu proses penyelidikan atau
penyidikan, yang merupakan tugas dan wewenang aparat kepolisian.
Dalam lingkup tugas dan wewenang ini, pihak kepolisian dihadapkan
pada beberapa hak tersangka yang harus mendapatkan perlakuan sebagaimana
yang dirumuskan dalam perundang-undangan yang ada.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam menangani perkara pihak
kepolisian segera memeriksanya dengan terlebih dahulu memberitahukan hak
yang dimiliki tersangka/terdakwa. Salah satu hak tersangka yang selalu
diberitahukan polisi adalah hak untuk didampingi penasehat hukum. Semua
responden menjawab bahwa polisi telah memberitahukan hak-hak yang dimiliki
tersangka ketika akan dilakukan pemeriksaan. Kalau hak tersebut tidak
digunakan, penyidik tetap melanjutkan pemeriksaan.
Dalam hal pendampingan oleh penasehat hukum, KUHAP telah
mengatur dalam Pasal 54, 55 dan 56. Dari ketiga pasal tersebut sangat jelas
pemberian hak oleh UU kepada tersangka/terdakwa. Sebaliknya tidak satupun
pasal yang mengharuskan atau mewajibkan penyidik untuk menyediakan
penasehat hukum bagi tersangka dalam proses pemeriksaan. Oleh karena itu,
penyidik yang menjadi responden dalam penelitian ini menyatakan bahwa kalau
kesempatan untuk didampingi penasehat hukum telah diberikan, tetapi tidak
digunakan oleh tersangka maka pemeriksaan tetap diteruskan, karena hal itu
bukan kewajiban polisi untuk menyediakannya. Demikian pula, polisi sebagian
besar (56,6%) menyarankan, agar tersangka mencari penasehat hukum.
Apabila dikaji secara normatif, maka hak yang dimiliki tersangka atau
terdakwa tidak dibarengi dengan kewajiban atas pemberian hak tersebut. Dalam
hukum terdapat adagium ubi jus ibi remedium, yang berarti di mana ada hak, maka selalu harus ada kemungkinan untuk menuntut dan memperolehnya
apabila dilanggar. Sebaliknya pula, hanya bila ada proses hukum untuk
menuntut, maka dapat dikatakan hak tersebut ada (ubi remedium ibi jus).13 Dalam
kaitannya dengan hak yang dimiliki tersangka/terdakwa, seharusnya terdapat
pula kewajiban bagi aparat terkait untuk melaksanakan hak-hak yang dimiliki
tersangka/terdakwa. Dalam hal ini perlu diperhatikan apa yang dikemukakan
oleh Mardjono Reksodiputro14 :
Pertanyaan yang sering timbul adalah apakah penyebutan hak ini tidak
selalu dibarengi dengan pengertian adanya kewajiban, sehingga menjadi
“hak dan kewajiban asasi manusia”. Pandangan ini bermula dari
pamahaman kita bahwa hak dan kewajiban adalah simetris. Hal ini
adalah benar, namun perlu diingat bahwa simetri ini tidak berada dalam
diri individu yang sama. Kalau A mempunyai hak X, maka B mempunyai
kewajiban yang berhubungan dengan hak X, atau kalau A mempunyai
kewajiban Y, maka B mempunyai hak yang berhubungan dengan
kewajiban Y. Dalam pengertian HAM, maka seperti diuraikan di atas,
hak-hak tersebut melekat pada manusia dan hanya dapat dimiliki oleh
individu. Sedangkan kewajiban yang merupakan bagian simetri di atas
terdapat pada negara, karena hanya negara yang mempunyai kekuasaan
memelihara dan melindungi hak-hak individu ini.
Dengan demikian jelas bahwa hak yang dimiliki tersangka harus disertai
kewajiban bagi aparat (penyidik) untuk memenuhi hak-hak tersebut.
Pelanggaran terhadap hak tersebut seharusnya pula diberikan sanski. Pemberian
sanksi ini dimaksudkan agar hak-hak tersebut benar-benar terjamin
pelaksanaannya.
Secara teoritis, keberadaan penasehat hukum sangat diperlukan15 dalam
sistem peradilan pidana yang menerapkan asas praduga tak bersalah16. Hal ini dimaksudkan selain untuk memberikan nasehat-nasehat hukum kepada
tersangka, juga agar pemeriksaan berjalan secara fair. Keberadaan penasehat
hukum are necessary to provide “equal access to justice”.17 Salah satu dampak negatif
dari tidak adanya pendampingan penasehat hukum kepada tersangka adalah
timbulnya tekanan-tekanan yang dilakukan aparat dalam proses pemeriksaan.
Hasil penelitian terhadap tersangka/terdakwa menunjukkan bahwa
78,7 % tersangka mengalami tekanan-tekanan dan perlakuan kasar dalam proses
pemeriksaan. Perlakuan kasar tersebut dilakukan dengan cara memukul,
membentak-bentak ataupun mengancam. Bahkan terdapat satu tersangka yang
menyatakan bahwa selain dipukul juga disetrum oleh petugas kepolisian.
Nampaknya, perlakuan kasar – yang menjurus pada penyiksaan—sudah lazim
dilakukan dalam rangka mencari alat bukti. Padahal dalam sistem hukum acara
yang menganut due process secara teguh, yang dipertimbangkan adalah
bagaimana cara pihak kepolisian memperoleh bukti-bukti yang relevan dengan
suatu kasus yang tengah dihadapi, bukan perolehan bukti-bukti an sich.18
Berbeda dengan jawaban yang diberikan oleh tersangka, penelitian
terhadap penyidik umumnya menjawab bahwa bila penyidik mengalami
kesulitan karena sikap tersangka yang dengan sengaja mempersulit
pemeriksaan, maka upaya yang dilakukan penyidik adalah memberikan
penjelasan kepada tersangka, agar mau memberikan keterangan dengan baik.
B.1 Dalam pelaksanaan upaya paksa
Hukum Acara Pidana diciptakan untuk memudahkan aparat untuk
melakukan penegakan hukum, dalam hal ini adalah hukum pidana. Salah satu
dari kewenangan yang diberikan dalam KUHAP adalah melakukan upaya paksa
yang meliputi penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan
pemeriksaan surat.
Sifat dari pelaksanaan upaya paksa disatu sisi adalah sebagai upaya
untuk menciptakan ketentraman di masyarakat, misal munculnya pernyataan di
masyarakat “ penjahatnya telah ditangkap oleh pak polisi”, “penjahatnya sudah
dikerangkeng di kantor polisi” atau “2 kilogram ganjanya kemarin sudah ada
ditangan pak polisi” dan sebagainya. Akan tetapi di sisi lain, apabila upaya
paksa dilaksanakan telah terjadi apa yang dinamakan dengan pelanggaran
terhadap hak asasi manusia (HAM).
Penangkapan dan penahanan jelas melanggar hak yang paling asasi dari
manusia yaitu untuk bergerak, beraktifitas dengan bebas, karena dengan
penangkapan dan penahanan kebebasannya menjadi terbatas atau mungkin
hilang. Penggeledahan baik terhadap badan atau rumah (kediaman), barang
yang menjadi miliknya jelas telah mengurangi hak seseorang untuk dapat
menikmati sesuatu yang menjadi “miliknya”. Lebih-lebih lagi kalau aparat
melakukan penyitaan, tidak hanya mengurangi, tapi bahkan telah
menghilangkan hak seseorang untuk dapat menikmati sesuatu yang menjadi
“miliknya”.
Karena undang-undanglah yang telah memberikan kewenangan untuk
melanggar hak asasi manusia, maka seakan-akan telah diberikan kondisi sah-sah
saja kalau hal tersebut dilakukan oleh aparat penegak hukum. Bukan suatu
tindakan yang berkatagori sebagai melawan hukum atau tindak pidana. Ini
dipertegas lagi dengan dasar hukum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 50
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) (dikenal sebagai bagian dari dasar penghapus pidana strafuitsluitingsgronden sebagai alasan pembenar
rechtsvardigingsgrond) yang berbunyi.
Pasal 50
” Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan
undang-undang, tidak dipidana”.
Oleh karena tindakan tersebut dimaksud untuk melaksanakan ketentuan
undang, maka menjadi maksud dari pembuat undang-undang juga untuk
menentukan tindakan (perbuatan) apa saja yang dapat dilakukan oleh aparat
penegak hukum. Juga oleh undang-undang akan ditentukan bagaimana caranya
aoarat penegak hukum melaksanakan tindakan (perbuatan) itu, hingga tetap
dikatakan sebagai melakukan tindakan (perbuatan) untuk melaksanakan
ketentuan undang-undang yang tidak dipidana
B.2. Kondisi yang turut Mempengaruhi
Pada umumnya mayoritas publik berpendapat bahwa tindakan aparat
penegak hukum baik Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan Negara
Republik Indonesia maupun Kehakiman Republik Indonesia selalu sah secara
hukum. Namun ternyata persoalan yang berhubungan dengan pelaksanaan
upaya paksa khususnya yaitu penahanan, tidak menutup kemungkinan
didapatkan kondisi sebagai berikut :
Ketidakjelasan yang menjadi tujuan dari pelaksanaan upaya paksa penahanan
tersebut.
Ketidak jelasan tujuan menyangkut seputar pertanyaan :
1. apakah memang untuk keperluan atau kepentingan kasus, perlu dilakukan
penahanan dengan maksud untuk memudahkan dilakukan pemeriksaan oleh
petugas guna memperoleh keterangan (informasi) yang diperlukan?;
2. apakah penahanan dilakukan sebagai suatu “penciptaan kondisi”, yang
maksudnya sebagai sarana untuk melakukan pemaksaan agar yang
bersangkutan mau memberikan keterangan sesuai dengan keinginan peminta
keterangan?;
3. apakah penahanan dilakukan sebagai suatu cara atau jalan untuk
menyelesaikan kasus di luar jalur sistem peradilan pidana, tapi dengan
mempergunakan “kedok” penegakan hukum dengan sistem peradilan pidana?;
4. apakah penahanan dilakukan sebagai suatu bentuk strategi yang diljalankan
oleh petugas?. Karena dengan penahanan dimaksudkan untuk membuat
tersangka atau terdakwa berkurang atau bahkan hilang keleluasaan melakukan
pembelaan. Sebab dengan ditahannya tersangka atau terdakwa menjadikan
terbatas dan atau hilangnya kesempatan dan atau kemampuan untuk mencari
dan mengumpulkan bukti. Padahal bukti tersebut sangat diperlukan untuk
membuktikan (sebagai bagian dari pembelaan) bahwa dirinya tidak bersalah
(sehingga berakibat tidak dihukum), atau kalau seandainya bersalah ada hal-hal
yang dapat dibuktikan bahwa kesalahan itu tidak seluruhnya ada pada dirinya
(dikurangi hukumannya);
5. apakah penahanan tidak menutup kemungkinan dijadikan sebagai sarana
untuk melakukan pemerasan oleh aparat terhadap tersangka atau terdakwa?.
Sebab suatu hal yang pasti tidak ada satu orangpun yang dengan secara sukarela
atau senang hati mau dikurangi ataupun dihilangkan kebebasan bergeraknya
dengan cara ditahan. Sehingga agar tidak ditahan atau kalau seandainya ditahan
ia dapat memperoleh “keenakan”, maka semua harus dibayar dengan uang atau
dengan yang lainnya.
Dari hasil penelitian ternyata lebih dikedepankan alasan yuridis yang bersifat
subyektif dibandingkan dengan alasan juridis yang obyektif untuk
melakukan penahanan.
Makna melakukan penahanan di sini dapat berarti memperpanjang
penahanan, mengalihkan jenis penahanan atau menangguhkan penahanan.
Aparat (dalam hal ini termasuk hakim) yang pada saat itu sedang mempunyai
kewenangan, apakah akan dilaksanakan, akan dikabulkan atau ditolak
permohonan untuk tidak ditahan, diperpanjang penahanannya, dialihkan jenis
penahanan atau ditangguhkan, maka alasan yuridis yang bersifat subyektif lebih dominan dijadikan pertimbangan dibandingkan dengan alasan juridis
yang obyektif untuk melakukan penahanan.
Alasan yuridis yang bersifat subyektif yang dimaksud adalah yang
diatur dalam Pasal 21 (1). Sedang alasan juridis yang bersifat obyektif adalah
yang diatur dalam Pasal 21 (4) UU Nomor 8 Tahun 1981.
Pasal 21
(1) Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap
seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan
tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya
keadaan yang menimbulkan kekhawatiran tersangka atau terdakwa akan
melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau
mengulangi tindak pidana.
Menimbulkan kekhawatiran tersangka atau terdakwa akan melarikan diri,
merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.
Suatu alasan yang pasti ada pada diri setiap aparat penegak hukum, apabila
berhadapan dengan seorang tersangka atau terdakwa. Akan tetapi apakah
kemudian perlu dilakukan penahanan?
Untuk alasan penahanan, secara tegas dan jelas Pasal 21 (4) dari UU
Nomor 8 Tahun 1981 telah menyatakan,
Pasal 21
“(4) Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau
terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan
maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal:
a. tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau
lebih;
b. tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3) dan
seterusnya”.
Pengertian hanya dapat, sudah pasti dan jelas hanya untuk macam tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 (4), dan hanya karena sangkaan
melakukan tindak pidana itulah penahanan dapat dilakukan.
Walaupun alasan “menimbulkan kekhawatiran tersangka atau terdakwa
akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana” adalah alasan yang terletak dalam persoalan
penahanan; ternyata dari data di lapangan menunjukkan bahwa alasan tersebut
juga dipergunakan untuk pengalihan jenis dan penangguhan penahanan.
Padahal aturan yang berhubungan dengan pengalihan jenis dan penangguhan
penahanan tidak memasukkan alasan tersebut dalam isi ketentuannya (lihat
Pasal 23 dan Pasal 31UU Nomor 8 Tahun 1981 jo Pasal 35 dan Pasal 36 PP Nomor
27 Tahun 1983).
Selain daripada itu sebagai penyidik yang terjun langsung dalam
menangani kejahatan, aparat kepolisian merasakan pula terjadinya
ketimpangan-ketimpangan melaksanakan tugas maupun dalam proses peradilan
pidana. Untuk itu, terdapat beberapa saran yang diperlukan dalam rangka
memajukan proses peradilan pidana kita. Saran-saran tersebut adalah sebagai
berikut : (1) diperlukan aparat yang berkualitas. Untuk itu peningkatan SDM
sangat diperlukan; (2) biaya bagi kepolisian untuk menangani suatu kasus perlu
diperhatikan agar mencukupi; (3) kesejahteraan aparat perlu diperhatikan; (4)
perlu tunjangan dan asuransi bagi polisi; (5) jangan ada intervensi terhadap
tugas polisi; (6) penjatuhan pidana hendaknya tidak berbeda jauh dengan
tuntutan; (7) diperlukan kesadaran saksi untuk memberikan keterangan; (8)
polisi, sebagai penyidik, perlu mendapatkan salinan putusan.
Dari data yang diperoleh menunjukkan bahwa terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi kinerja kepolisian sebagai penyidik, yaitu:
1. faktor internal, yaitu berkaitan dengan SDM kepolisian, kesejahteraan
kepolisian, dan anggaran dalam melaksanakan tugas penyidikan;
2. faktor eksternal, yaitu berkaitan dengan adanya intervensi dalam tugas,
adanya ketergantungan kepada pihak lain yaitu saksi.
Selain faktor-faktor tersebut, secara sistemik terdapat pula kendala-kendala
yang dialami petugas dalam melaksanakan sistem peradilan pidana, yaitu
penjatuhan pidana yang dirasakan sangat jauh dari apa yang diharapkan oleh penyidik. Hal ini sering kali menimbulkan kekecewaan karena upaya yang telah
dilakukan ternyata tidak sebanding dengan sanksi yang dijatuhkan hakim
kepada pelaku. Yang kedua, adalah polisi tidak mendapatkan salinan putusan
hakim, sehingga tidak dapat melakukan evaluasi terhadap kinerja yang telah
dilakukan.
Pihak kepolisian, dalam melakukan tugasnya, seringkali menghadapi
berbagai masalah yang menuntut mereka untuk melakukan diskresi. Dalam
Black Law Dictionary disebutkan bahwa: “discretion means a power or right
conffered upon them by law of acting officially in certain circumstances, according to the
dictates of their own judgement and conscience, uncontrolled by the judgment or
conscience of others”. Hasil wawancara menunjukkan, sebagian besar responden
(53,3%) pernah menggunakan diskresi untuk tidak melanjutkan perkara yang
ditangani. Diskresi ini dilakukan dalam hal: (1) bila perkara tersebut tidak
memenuhi unsur tindak pidana; (2) masalah intern keluarga; (3) demi
kepentingan umum; (4) jika terdapat intervensi. Dalam hal ini sebagian besar
(66,6%) responden mengatakan bahwa diskresi tersebut tidak bertentangan
karena sesuai dengan aturan hukum yang ada.
Dalam kaitannya dengan diskresi kepolisian, meskipun tetap beranjak pada
ketentuan perundang-undangan, harus tetap mendapatkan pantauan atau
kontrol dari masyarakat. Suatu diskresi yang berlebihan tentu sangat berbahaya
bagi sistem peradilan pidana.19
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah memberikan
beberapa hak yang dapat dipergunakan oleh tersangka dalam mencari keadilan.
Meskipun demikian, aparat kepolisian memiliki kendala dalam memenuhi hakhak
tersebut. Kendala-kendala tersebut adalah adalah : (1) ketidaktahuan
tersangka akan hukum (buta hukum); (2) ketidakmampuan tersangka dalam
membayar penasehat hukum; (3) rasa enggan dari tersangka ketika diperiksa; (4)
masalah pembuktian; dan (5) waktu yang terbatas, karena dalam waktu 1 x 24
jam harus sudah membuat Berita Acara pemeriksaan (BAP).
Penahanan terhadap tersangka perlu dilakukan dalam rangka penyidikan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tersangka selalu ditahan guna kepentingan
pemeriksaan. Permasalahan yang muncul dalam penahanan adalah tempat
penahanan, baik itu tahanan di kepolisian maupun Rutan, telah melampaui
kapasitas seharusnya. Beranjak dari kondisi tempat penahanan, maka perlu
dipikirkan untuk melakukan evaluasi terhadap penahanan. Dengan kata lain,
penahanan dilakukan dengan selektif, berdasarkan ketentuan perundangundangan.
Menurut penyidik, penahanan tidak dilakukan bilamana : bukti belum
cukup; ada jaminan yang bersangkutan tidak lari; ancaman hukuman di bawah
lima tahun; tidak menghilangkan barang bukti; tidak mempersulit pemeriksaan;
dan sewaktu-waktu bersedia untuk dipanggil. Untuk kasus yang diancam
pidana 5 tahun ke atas sebagian besar dilakukan penahanan kecuali bila tidak
cukup bukti dan unsur tindak pidana tidak terpenuhi. Sedangkan untuk kasuskasus
narkotika, psikoterapika dan zat-zat berbahaya (napza), terdapat kebijakan
untuk tidak “melepaskan” dalam bentuk apapun juga. 70% responden pernah
mengabulkan permohonan penangguhan penahanan dengan alasan adanya
jaminan, tidak akan melarikan diri, alamat jelas, dan tidak mengulangi
perbuatan tersebut.
Salah satu unsur yang tidak kalah penting dalam mengungkap suatu kasus
adalah keberadaan saksi. Keterangan saksi sangat diperlukan dalam
mengungkap sebuah kasus. Saksi inilah yang mendengar, melihat atau
menyaksikan sendiri hal-hal yang berkaitan dengan terjadinya kejahatan. Oleh
karena itu, keterangan saksi dalam setiap perkara sangat diperlukan. Dalam hal
pemeriksaan saksi, sebagian besar (93,3%) responden dari kepolisian
menyatakan bahwa tidak terdapat keberatan bila saksi korban didampingi
penasihat hukum karena hal itu merupakan hak saksi korban serta diharapkan dapat membantu mempercepat proses pemeriksaan. Responden menjawab
sangat variatif terhadap kemungkinan jika saksi mempersulit pemeriksaan. Ada
yang mengatakan bahwa tidak ada saksi yang mempersulit pemeriksaan. Yang
terpenting adalah adanya upaya dari responden untuk menjelaskan dan
memberikan pengertian bila saksi mempersulit pemeriksaan.
BAB III
PERANAN JAKSA DALAM UPAYA PENINGKATAN
AKSES PUBLIK KE PERADILAN PIDANA
Jaksa sebagai bagian dari sistem peradilan pidana memiliki posisi yang
strtegis dalam pencapaian tujuan dari sistem tersebut. 20 Betapa tidak, posisi
penting yang dimiliki oleh institusi kejaksaan adalah berkaitan dengan lingkup
pekerjaan yang diembannya yang melikupi tahap praajudikasi, ajudikasi dan
purnaajudikasi. Lingkup pekerjaan yang diemban oleh institusi kejaksaan
melingkupi sejak awal proses hingga proses peradilan pidana itu berakhir inilah
yang menyebabkan jaksa dalam menjalankan tugas dan kewenangannya akan
selalu bersinggungan dengan tugas dan kewenangan instansi lainnya yaitu polisi
dan hakim.
Pada tahap pra ajudikasi, memang posisi jaksa sebagai penuntut umum
amat bergantung pada peran yang dimainkan oleh polisi dalam tahap
penyelidikan dan penyidikan. Meskipun didalam KUHAP kewenangan Jaksa
tidak lagi sebesar peranan yang dimainkannya ketika HIR masih berlaku, yang
menyatakan kewenangan penyelidikan dan penyidikan pun menjadi
kompetensinya.21 Namun demikian dalam perkara-perkara yang termasuk
dalam golongan tindak pidana khusus, jaksa masih memegang kewenangan ini.
A. Landasan Yuridis
Terlepas dari permasalahan kewenangan yang terjadi dalam praktek, jaksa
sesungguhnya amat berkepentingan atas proses yang berlangsung dalam tahap
praajudikasi dari sistem peradilan pidana baik dalam perkara-perkara tindak
pidana umum, tindak pidana khusus dan bahkan kejahatan luar biasa yang diatur dalam Undang-Undang Pengadilan HAM No. 26 tahun 2000. Dalam
tindak pidana khusus, kepentingan jaksa amat jelas sebagai institusi pelaksana
tahapan pra ajudikasi ini. Hal ini jelas terlihat dari ketentuan yang ada dalam
perundang-undangan. Sebagai contoh, Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi
no. 31 tahun 1999 yang dinyatakan dalam Pasal 39 bahwa Jaksa Agung
mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan dan
penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang
yang tunduk pada Peradilan Umum dan Peradilan Militer. Dalam Undang-
Undang Pengadilan HAM dinyatakan dalam Pasal 21 yang merumuskan
penyidikan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat dilakukan oleh Jaksa
Agung. Dalam tindak pidana umum meski pihak kepolisian yang memiliki
kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan, jaksa
berkepentingan atas proses yang berjalan karena baik tidaknya proses
penyidikan berjalan akan amat berpengaruh terhadap proses penuntutan yang
jelas akan dijalankannya.
Dalam berbagai perundang-undangan lain yang menetapkan PPNS sebagai
penyelidik dan penyidik atas suatu perkara pidana, jaksa tetap ditempatkan
dalam posisi sebagai pihak yang melakukan penuntutan atas berbagai tindak
pidana tersebut. Beberapa contoh perundang-undangan yang dimaksud antara
lain Undang-Undang No. 5 tahun 1983 yang menempatkan TNI AL sebagai
penyidik dan Undang-Undang No.9 tahun 1985 yang menempatkan PPNS
sebagai penyidik.22
Dalam proses purna ajudikasi, peran jaksa tidak kalah pentingnya. Undang-
Undang menempatkan jaksa sebagai pelaksana putusan hakim. Dalam hal ini
lagi-lagi pihak kejaksaan dituntut untuk mampu bekerjasama dengan berbagai
institusi lain dalam sistem peradilan pidana yang dalam hal ini adalah hakim
dan LAPAS. Lebih jauh, hal ini diatur dalam Bab II Pasal 27 Undang-Undang No. 5 tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang menyatakan tugas
dan kewenangan kejaksaan dalam perkara pidana meliputi :
1. melakukan penuntutan dalam perkara pidana;
2. melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan;
3. melakukan pengawasan tehadap pelaksanaan putusan lepas bersyarat;
4. melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan
pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam
pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
Dalam pelaksanaan tugas-tugas tersebut, pihak kejaksaan harus berkoordinasi
dengan seluruh sub sistem yang terpaut dalam sistem peradilan pidana, pihak
atau instansi lain yang menangani atau berkepentingan dengan hal tersebut
seperti RUTAN, BAPAS, LAPAS dan Advokat.
B. Landasan Teoritis
Hak dalam khasanah hukum acara pidana amat berkaitan erat dengan
hak-hak yang dimiliki oleh para pihak yang terlibat dalam proses tersebut yaitu
tersangka, terdakwa, saksi, korban dan aparat penegak hukum. Dari keempat
para pihak yang terlibat dalam sistem peradilan pidana, posisi pihak pihak
tersebut dapat dipisahkan berdasarkan kepentingannya yaitu tersangka,
terdakwa, saksi dan korban sebagai pihak pencari keadilan dan para aparat
penegak hukum sebagai pihak yang membantu para pencari keadilan untuk
mencapai keadilan tersebut. Karenanya pelaksanaan hak dalam hukum acara
pidana tidak hanya berkaitan dengan upaya perolehan keadilan namun juga
berkaitan dengan upaya pencapaian tujuan dari sistem peradilan pidana itu
sendiri.
Sistem peradilan pidana pada dasarnya merupakan sistem fisik berupa
kerjasama secara terpadu antar sub sistem untuk mencapai tujuan tertentu dan
sistem abstrak berupa persamaan persepsi antar sub sistem terhadap pandangan, sikap, nilai bahkan filosofi yang mendasari sistem tersebut.23 Pencapaian tujuan
nya pun karenanya harus diupayakan melalui kerjasama, kesamaan pandangan,
sikap dan nilai dari masing-masing sub sistem.
C. Pembahasan
Mengingat tugas dan kewenangan jaksa yang melingkupi setiap proses
dalam peradilan pidana, maka jaksa memiliki peranan besar dalam upaya
peningkatan aspek publik ke peradilan pidana. Upaya peningkatan akses publik
dapat dilakukan oleh pihak kejaksaan sejak awal mulainya proses peradilan
pidana di kepolisian hingga akhir dari proses tersebut yaitu di LAPAS.
Beberapa contoh peran yang dapat dimainkan oleh pihak kejaksaan dalam
upaya peningkatan aspek publik ke peradilan pidana misalnya :
1. Dalam proses praajudikasi, upaya perlindungan terhadap hak-hak tersangka
atau terdakwa dalam perkara tindak pidana umum memang menjadi
kewenangan pihak kepolisian, Kejaksaan dapat berfungsi sebagai pemantau
berjalannya proses penyelidikan atau penyidikan dimana dengan pola
keterpaduan yang ada dalam sistem yang berjalan sesungguhnya
memungkinkan jaksa untuk melakukan hal tersebut.
2. Dalam proses penuntutan, jaksa berposisi sebagai wakil dari negara. Hal
tersebut menempatkan jaksa seolah-olah tidak memiliki kepentingan atas
individu orang-perorangan ataupun pihak lain yang sebetulnya menderita
kerugian atas tindak pidana yang terjadi. Pandangan atas pekerjaan jaksa
sebagai wakil negara adalah melindungi kepentingan masyarakat secara luas
yang amat berbeda dengan perspektif perdata yang melihat kerugian orangperorang.
Berkaitan dengan akses publik, maka paradigma yang demikian
agaknya harus dikaji kembali, karena mau tak mau dan secara tidak langsung
sebetulnya posisi jaksa adalah sebagai wakil dari pihak yang dirugikan atas
terjadinya tindak pidana yang dalam hal ini adalah korban atau keluarganya dalam lingkup yang kecil dan negara dalam lingkup yang besar. Perlakuan
pihak kejaksaan terhadap posisi korban perlu ditinjau kembali dalam proses
yang berjalan selama ini.
3. Dalam hal proses purna ajudikasi, jaksa sebagai eksekutor atau pelaksana
putusan amat berperan untuk:
– menginfomasikan hasil putusan pada pihak-pihak yang berkepentingan;
– menyelesaikan segala permasalahan yang menyangkut:
¨ pengembalian barang bukti;
¨ melakukan penyelesaian yang menyangkut ganti rugi, rehabilitasi dan
eksekusi atas putusan termasuk didalamnya informasi atas penempatan
terpidana selama menjalani pidananya kepada pihak keluarga;
¨ terhadap terpidana dengan hukuman percobaan, pihak kejaksaan harus
berkoordinasi dengan pihak BAPAS.
Berkaitan dengan hal diatas, pihak kejaksaan memiliki peran besar dalam
upaya perlindungan terhadap saksi atau saksi korban sepanjang proses
berlangsung.
Di dalam melakukan studi empiris ini tidak begitu banyak opini yang
didapat mengenai institusi kejaksaan. Hal ini dapat dimaklumi mengingat
dalam melakukan pekerjaannya (kecuali tindak pidana khusus) tidak
berhadapan langsung dengan pihak pihak terlibat baik tersangka, saksi
ataupun saksi korban. Temuan-temuan dalam penelitian ini memberikan
gambaran sebagai berikut:
1. Belum berjalannya pola koordinasi antara Jaksa dengan sub sistem lain
maupun dengan instansi terkait sebagaimana telah diungkapkan
sebelumnya, menyebabkan pihak kejaksaan nampaknya belum dapat
menjalankan fungsinya dengan baik. Disini harapan jaksa sebagai institusi
yang mampu memainkan peranan sehubungan dengan upaya peningkatan
akses publik nampaknya belum dapat diharapkan. Dalam banyak hal dalam
jawaban yang peroleh dari responden jaksa berkaitan dengan hal ini sering dijawab bukan kompetensi atau kewenangannya dan “berprasangka baik”
bahwa hal itu telah dilakukan oleh instansi terkait. Hal ini dapat
tergambarkan dalam jawaban dari pertanyaan tentang informasi atas
pemindahan kewenangan status tahanan dari tahanan polisi menjadi
tahanan jaksa maka sebagian besar 93% responden menyatakan
memberitahukan kepada pihak keluarga, sementara sisanya (7% responden)
menyatakan tidak memberitahukan, dengan alasan bahwa pemberitahuan
tersebut dilakukan dan menjadi kewenangan pihak Polisi.
2. Penanganan kondisi tahanan yang dititipkan di polisi, di RUTAN atau
bahkan di LAPAS karena tidak dimilikinya fasilitas tersebut oleh jaksa
kadang menimbulkan kebingungan berkaitan dengan:
– pemenuhan kebutuhan dari tahanan
– keputusan dalam hal kondisi khusus yang perlu diberikan kepada
tahanan
Pertanyaan yang kemudian sering dipermasalahkan adalah apakah hal ini
menjadi kewenangan lembaga yang dititipi atau kejaksaan karena statusnya
sebagai tahanan kejaksaan.
3. Hal yang sama terjadi dalam hal tidak dilanjutkannya proses perkara. tidak
dilanjutkan proses suatu perkara, 70% responden menyatakan
menginformasikannya pada semua pihak termasuk tersangka, sementara 8
orang atau 30% lainnya menyatakan tidak melakukannya dengan alasan
bahwa hal itu menjadi urusan polisi.
4. Terhadap korban . Pemberitahuan oleh 63% responden pun dilakukan jika
saksi menanyakannya.
5. Berkaitan dengan penangguhan penahanan misalnya, penangguhan
penahanan oleh sebagian besar reponden jaksa diberikan semata-mata karena
permintaan dari keluarga.
6. Bentuk pengawasan terhadap tersangka dalam status tahanan luar ini pun
tidak seragam. Jawaban yang diberikan atas hal ini :
– 1 kali seminggu
– Setiap senin dan kamis
– 1 minggu 2 x
– Setiap hari kepada RT/RW
Seharusnya Jaksa dapat berkoordinasi dengan BAPAS atau dengan polisi
yang memiliki jangkauan luas dan juga memiliki permasalahan yang sama
dan lebih luas lagi membina kerjasama dengan pemda utamanya dengan RT
atau RW melalui suatu pembinaan.
7. Dalam hal pemberian bantuan hukum, sebagaimana diketahui, KUHAP
menyatakan sebagai keharusan bagi tersangka/terdakwa dengan ancaman
hukuman diatas 5 tahun. Dalam penelitian diperoleh kenyataan bahwa
sebagian besar para jaksa berpendapat, ketentuan ini menjadi kewenangan
dari pengadilan dengan alasan ketiadaan anggaran.
8. Kenyataan menunjukan bahwa Berkaitan dengan proses pemeriksaan di
Kejaksaan, dinyatakan bahwa 89% responden menyatakan memberitahukan
adanya hak untuk didampingi penasihat hukum meski sering tersangka tidak
mau karena akan tambah biaya.. Namun demikian bila tersangka tidak
mampu, para responden (81%) menyatakan bahwa bukan kewajiban mereka
untuk menyediakan penasihat hukum bagi mereka karena:
– Tidak ada anggaran
– Bukan wewenang jaksa melainkan pengadilan
– Yang punya otoritas Polisi/Pengadilan
Walaupun undang-undang menyatakan sebagai suatu kewajiban namun
tidak ada konsekwensi yang harus ditanggung, karena tidak terpenuhinya
kewajiban ini menjadikan pemenuhannya pun tergantung situasi dan kondisi
masing-masing pihak.
9. Posisi saksi dan saksi korban belum mendapatkan perhatian yang serius dari
pihak kejaksaan. Keluhan dari banyak responden saksi dan saksi korban
perihal minimnya perhatian dan fasilitas yang diberikan oleh pihak kejaksaan berkaitan dengan posisi mereka. Hampir tidak ada perlindungan yang
didapat oleh para saksi dan saksi korban dari pihak kejaksaan. Hanya ada
dua responden saksi yang menyatakan memperoleh uang transport. Oleh
pihak kejaksaan didapati informasi bahwa hal itu dilakukan atas inisiatifnya
sendiri dengan dana yang dikeluarkannya secara pribadi. Hal ini dapat
dibandingkan dengan pernyataan beberapa resonden jaksa yang menyatakan
memberikan fasilitas berupa:
– biaya transport (30% dari seluruh responden)
– perlindungan dari ancaman/tekanan pihak ke-3 (41% dari seluruh
responden)
– perlindungan atas keamanan pribadi (26% dari seluruh responden)
Hal lain yang diberikan pada saksi adalah bantuan medis (11% dari seluruh
responden) dan Bantuan Psikologis (3 orang atau 11% dari seluruh
responden). Hal ini dilakukan dengan cara:
– Alamat saksi dirahasiakan
– Penggantian transport pakai uang pribadi
– Perlindungan fisik bekerjasama dengan polisi
– Saksi lapor dulu kalau dia perlu perlindungan
Responden yang menyatakan tidak memberikan perlindungan tersebut diatas
menyatakan kendala pemenuhannya adalah
– Tidak ada anggarannya
– Rata-rata saksi adalah orang mampu (pidsus)
– Yang diancam justru responden
Suatu perbedaan informasi yang bila dilihat tidak berbeda jauh dalam hal
minimnya upaya pemenuhan hak-hak saksi dan saksi korban dan upaya
perlindungan terhadapnya.
10. Perlakuan yang dirasakan oleh para saksi dan saksi korban tidak berbeda
dengan para tersangka atau terdakwa. Perhatian yang lebih besar sangat
diharapkan oleh para saksi dan saksi korban, bukan hanya fasilitas, namun lebih dari itu perhatian dari pihak kejaksaan yang dianggap oleh mereka
sebagai tumpuan mereka dalam memperoleh keadilan. Dalam kenyataanya
hanya sedikit responden yang menyatakan berkonsultasi dengan korban
atau keluarganya (33%) dalam membuat tuntutan, sementara 67% lainnya
mengabaikannya. Komentar dari responden yang tidak berkonsultasi karena
antara lain undang-undang tidak mengharuskan untuk melakukannya.
Meski demikian sebagian responden kejaksaan, penderitaan yang dialami
oleh saksi korban merupakan hal yang menjadi perhatian khusus menurut
48% responden untuk dijadikan dasar pertimbangan dalam menyusun
tuntutan dengan bentuk pertimbangan :
– Menjadi pertimbangan utama
– Termasuk hal yang memberatkan
– Akan tetapi tidak 100%, yang utama penegakan hukumnya dulu
– Tergantung kerugiannya
Sedangkan 52% responden lainnya tidak mempertimbangkan penderitaan yang
dialami oleh korban. Sebagai contoh lain, dalam hal tuntutan terhadap gantirugi
materiil yang mereka dapatkan dalam proses persidangan, hingga kini belum
diperoleh oleh para saksi korban. Pun dalam hal pengembalian barang sitaan
atau barang bukti milik para saksi. Transparansi berkaitan dengan proses
administrasi diperlukan sebagai kemudahan bagi para pencari keadilan dalam
mengurus kepentingannya tersebut.
BAB IV
PERANAN HAKIM DALAM AKSES KE PERADILAN PIDANA
Hakim dengan kekuasaan kehakiman yang dimiliki mempunyai peranan
yang sangat besar juga menentukan dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana
dan akses publik pencari keadilan ke peradilan pidana. Peranan yang besar dan
menentukan tersebut tidak hanya terkait dengan pelaksanaan dari sistem
peradilan pidana itu, tapi yang utama juga adalah usaha dari sistem peradilan
pidana dalam mencapai tujuannya, yaitu “usaha yang rasional dari masyarakat
dalam upaya penanggulangan” atau pencegahan kejahatan.24
Memang dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana (mungkin secara
universal) telah terbagi dalam tahap-tahap. Tahap penyidikan, penuntutan,
peradilan dan pelaksanaan pemidanaan. Setiap tahap tersebut dilaksanakan oleh
lembaga-lembaga yang berbeda-beda, tahap penyidikan oleh kepolisian,
penuntutan oleh kejaksaan, peradilan oleh hakim dan pelaksanaan pemidanaan
oleh lembaga pemasyarakatan. Lembaga-lembaga tersebut oleh undang-undang
diberikan tugas dan kewenangan yang berbeda-beda. Penyidik yang melakukan
penyidikan secara umum tugas dan kewenangannya adalah mencari dan
mengumpulkan bukti. Penuntut umum (jaksa) dengan tugas atau kewenangan
secara umum melakukan penuntutan dengan jalan membuat dakwaan dari
bahan bukti yang berasal dari pihak penyidik. Hakim dalam tahap peradilan
secara umum tugas dan kewenangannya adalah memberikan putusan mengenai
salah tidaknya seseorang yang telah diajukan sebagai terdakwa oleh penuntut
umum (jaksa) dengan terlebih dahulu melalui proses pembuktian. Terakhir
lembaga pemasyarakatan dengan tugas dan kewenangan secara umum
pelaksanaan pemidanaan agar terpidana dapat kembali ke masyarakat
(resosialisasi). Namun apabila memperhatikan secara umum dan keseluruhan isi dari Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan
Kehakiman dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana terlihat bahwa hakim tidak hanya berperan dalam lingkup tugas
peradilan pidana secara sempit yaitu memeriksa dan memutus perkara pidana
(ajudikasi), akan tetapi tugas dan kewenangan yang dimilikinya masuk dan
mulai sejak dari tahap penyidikan (pra – ajudikasi) sampai dengan tahap
pelaksanaan putusan pemidanaan (pasca – ajudikasi).
Dengan memperhatikan kedudukan dan kekuasaan kehakiman di
Indonesia yang demikian, maka menjadi wajarlah kalau dinyatakan bahwa tugas
hakim adalah berat. Disamping memikul tanggungjawab tugas dan
kewenangannya sendiri – tugas peradilan secara sempit (ajudikasi) – juga
tanggungjawab horisontal terkait dengan pelaksanaan tugas aparat penegak
hukum yang lainnya.25 Disamping itu iapun harus bertanggungjawab secara
vertikal. Hal ini tersurat dan tersirat dalam irah-irah putusan hakim “Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa “ sebagaimana bunyi dari
Pasal 4 atar 1 UU Nomor 14 tahun 1970.26
A. Pokok Permasalahan
Dua bentuk tanggungjawab tersebut tidak dimiliki oleh aparat penegak
hukum kepolisian, kejaksaan, maupun lembaga pemasyarakatan,
tanggungjawab tersebut hanya dimiliki oleh hakim! Namun dalam beberapa hal
tugas dan kewenangan yang dimiliki oleh hakim dan pelaksanaan dari tugas dan
kewenangan tersebut dari sisi akses publik pencari keadilan ke peradilan pidana
masih terdapat batas dan atau dibatasi.
Peran pengadilan yang akan dibahas dalam bab ini akan dilihat dari tiga
hal yaitu :
1. Peran hakim sebagai pengendali dan sekaligus pelaksana upaya paksa.
2. Inkosistensi dalam pelaksanaan tugas.
3. Informasi tentang persidangan.
Dalam Bab terdahulu telah diuraikan ketidakjelasan tujuan pelaksanaan
upaya paksa penahanan dan landasan yang subjektif yang dominan dalam hal
aparat melaksanakan atau tidak melaksanakan upaya paksa tersebut, tidak
menutup kemungkinan juga terjadi pada pelaksanaan upaya paksa lain seperti
penggeledahan, penyitaan atau pemeriksaan surat yang memerlukan surat
penetapan hakim. Baik ketidakjelasan tentang tujuan maupun dominannya
aspek yuridis subyektif dalam melaksanakan atau menolak untuk melaksanakan
upaya paksa, jelas merugikan pencari keadilan dalam upaya untuk memperoleh
keadilan dalam proses peradilan pidana.
1. Peran hakim sebagai pengendali dan sekaligus pelakana upaya paksa.
Sebagai salah satu upaya paksa untuk mengurangi ketidakjelasan tujuan
dari upaya paksa adalah dibuatnya suatu aturan yang menyatakan bahwa pada
hakimlah yang mempunyai kewenangan untuk menetapkan pada diri tersangka
atau terdakwa akan dilaksanakan upaya paksa ataukah tidak. Adapun hal-hal
yang mendasari dari usulan seperti itu :
1. Hakim telah mempunyai kewenangan tersebut untuk upaya paksa
penggeledahan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 33 (1) UU No 8
Tahun 1981, yang menyatakan bahwa ”dengan surat izin ketua
pengadilan negeri setempat penyidik dalam melakukan penyidikan
dapat mengadakan penggeledahan rumah yang diperlukan”
2.Demikian juga halnya untuk persoalan yang berhubungan dengan
upaya paksa penyitaan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 28 (1)
UU No 8 Tahun 1981, yang menyatkan bahwa „penyitaan hanya
dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin ketua pengadilan
negeri setempat.
3.Dengan melibatkan hakim dalam menentukan (melalui
penetapannya) untuk pelaksanaan upaya paksa, maka akan
semakin banyak pertimbangan yang akan diberikan dalam
pelaksanaan upaya paksa. Sekali lagi dengan mengingat bahwa
pelaksanaan upaya paksa adalah merupakan pelanggaran terhadap
HAM, sehingga tidak secara mudah untuk dilaksanakan;
4.Dengan melibatkan hakim dalam menentukan (melalui
penetapannya) untuk pelaksanaan upaya paksa, maka akan
semakin banyak pertimbangan yang akan diberikan dalam
pelaksanaan upaya paksa. Terutama dalam hal ini adalah untuk
persoalan penangkapan dan penahanan yang sudah bernilai sebagai
penjatuhan hukuman penjara untuk suatu tindak pidana yang
belum tentu terbukti dilakukan tersangka atau terdakwa. Hal ini
dengan mengingat isi dari Pasal 22 (4) UU Nomor 8 Tahun 1981
yang menyatakan.
Pasal 22
(4) Masa penangkapan dan atau penahanan dikurangkan seluruhnya dari pidana
yang dijatuhkan.
5. dengan mengingat persoalan dua arah tanggung tanggungjawab yang dimiliki
oleh hakim – horisontal dan vertikal -, dan yang tidak dimiliki oleh aparat
penegak hukum yang lainnya.
2. Obyektifitas pelaksanaan upaya paksa
Pendapat dari pihak (terutama tersangka atau terdakwa dan penasihat
hukum) yang menyatakan bahwa bertolak dari pengertian “hanya dapat”, yang
dijumpai dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP sudah pasti dan jelas hanya untuk
macam tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 (4). Akan tetapi
pihak aparat penegak hukum menyatakan bahwa alasan untuk melakukan penahanan hanya berdasar sebagaimana yang diatur dalam Pasal 21 (4) adalah
juga benar (alasan subyektif yuridis).
Ketidakadaan kepastian hukum untuk suatu tindakan yang dipandang
sebagai batas akses publik pencari keadilan ke peradilan pidana. Hal ini
dikarenakan aparat penegak hukum dengan “kekuasaan” yang dimiliki yang
berdasar hukum, pasti akan mengalahkan argumen pihak tersangka/terdakwa
dan penasihat hukumnya. Oleh karena penegakan hukum dengan sistem
peradilan pidana adalah tindakan yang rasional, maka dasar yang berpijak pada
hal yang tidak rasional atau sulit dibuktikan dengan rasio, sudah seharusnya
ditinggalkan. Dalam hal ini jelas sulit untuk membuktikan benar atau tidaknya
hal yang bersandar pada kekhawatiran.
Pelaksanaan upaya paksa penangkapan dan penahanan acap dinilai
sebagai perampasan kemerdekaan walau putusan pengadilan atas kasus
tersebut belum ada. Dengan demikian sudah selayaknya “putusan” untuk
melakukan penahanan juga harus jelas, dengan mengacu pada jenis-jenis tindak
pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 21 (4) UU Nomor 8 Tahun 1981. Tanpa
adanya landasan rasional dan legal untuk melakukan penahanan dan upaya
paksa lainnya, s tersangka tidak dapat ditahan oleh pihak kepolisian.
3. Inkonsistensi Dalam Pelaksanaan Tugas
Predikat sebagai aparat penegak hukum, mempunyai makna dalam
menjalankan tugas harus berlandas pada: pertama; hukum yang ada; dan kedua,
memahami apa yang menjadi tujuan hukum yang menjadi landasan tindakan
itu.. Sifat “keajegan” atau konsistensi – dalam menjalankan tugas menjadi salah
satu ciri yang dituntut dari aparat penegak hukum. Terjadinya inkosistensi
dalam pelaksanaan proses peradilan pidana merupakan salah satu indikator
kelemahan sistem peradilan pidana yang pada gilirannya juga akan mengekang
tercapainya akses publik ke peradilan secara merata.
Makna inkonsistensi dalam hal ini adalah, walaupun aparat penegak
hukum mengetahui maksud atau tujuan undang-undang dalam praktek, karena
terpengaruh oleh kepentingan praktis dan kepentingan lainnya termasuk
intervensi dari pihak-pihak tertentu, aparat tidak melaksanakan tugas
berdasarkan asas “equality before the law”.
Dalam penelitian diminta pendapat responden untuk persoalan jangka
waktu pemanggilan sebagaimana yang diatur dalam pasal 146 ayat 1 UU No 8
Tahun 1981. Data di lapangan menunjukkan bahwa keseluruhan responden
berpendapat bahwa jangka waktu pemanggilan sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 146 ayat 1 KUHAP harus dipenuhi dengan maksud agar yang dipanggil
(terdakwa/saksi) mempunyai cukup waktu untuk mempersiapkan diri dengan
sebaik-baiknya menghadapi persidangan. Enam orang hakim yang menjadi
responden menyatakan dengan tegas bahwa bila ketentuan waktu sebagaimana
diatur dalam Pasal 146 (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 tidak dipenuhi oleh JPU,
maka persidangan akan ditunda. Akan tetapi tiga belas responden hakim
menyatakan sidang akan tetap dilaksanakan sepanjang yang dipanggil
(terdakwa/saksi) tidak berkeberatan.
Apabila sidang ditunda karena persoalan tenggang waktu yang tidak
sesuai dengan aturan, hakim akan menanyakan pendapat yang bersangkutan
(terdakwa/saksi). Bagi terdakwa yang berkeinginan agar nasib atau statusnya
segera menjadi jelas, dan saksi agar secepatnya kewajibannya selesai masalah
tenggang waktu ini umumnya tidak dipersoalkan.beban atas kewajiban hilang
maka pikiran terdakwa atau saksi yang tidak mempertimbangan akibat dari
tindakannya pasti akan menyatakan menolak.
menanyakan kembali bagaimana pendapat mereka, maka sesungguhnya
yang terjadi adalah aparat penegak hukum (hakim) hanya ingin mencari dasar
pembenar dari penyimpangan atas undang-undang dengan mempergunakan
alasan kepentingan pihak lain dalam hal ini adalah terdakwa/saksi. Untuk hal
tersebut sudah seharusnya, terhadap persoalan yang sudah pasti diatur dengan jelas dan maksud dari pembuatan aturannya, itulah yang kemudian
dilaksanakan agar akses publik pencari keadilan ke peradilan pidana dapat
terpenuhi atau tidak dibatasi.
4. Informasi Tentang Persidangan
Di setiap kantor pengadilan pasti akan ditemukan papan pengumuman
jadual persidangan dalam ukuran yang besar, yang berisi acara sidang (jadual)
hari itu yang akan dilaksanakan oleh pengadilan. Dalam penulisan jadual acara
sidang tersebut biasanya disebutkan antara lain: nomor urut sidang, nomor
perkara yang akan disidangkan, pasal yang didakwakan, waktu dan ruang
sidang, hakim, JPU dan panitera yang akan bertugas, nama terdakwa – dan
seharusnya juga nama penasihat hukumnya dan tahapan sidang.
Orang awam bisa jadi mengartikan ini sekedar informasi yang diperlukan
bagi orang-orang yang memang berkeperluan untuk datang ke pengadilan.
Misalnya seseorang dipanggil sebagai saksi untuk suatu perkara, dengan melihat
papan pengumuman tersebut ia minimal sudah tahu di ruang mana dia harus
menuju atau ia dapat mengetahui lagi ia akan dapat mengetahui siapa hakim,
Jaksa Penuntut Umum atau panitera yang bersangkutan.
Akan tetapi bagi orang yang mengetahui tentang hukum acara pidana tersebut
sangat berguna untuk beberapa persoalan yang sangat penting dalam bidang
hukum acara pidana, yakni
Pertama, untuk mengetahui apakah hakim, Jaksa Penuntut Umum atau,
panitera yang sedang bertugas merupakan hubungan atau kepentingan baik
secara langsung atau tidak dengan perkara yang sidang ia periksa. Hal tersebut
sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 157 dan Pasal 220 UU Nomor 8 Tahun 1981
yang menyatakan:
Pasal 157
(1) Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari mengadili perkara
tertentu apabila ia terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda
sampai derajat ketiga, hubungan suami atau istri meskipun sudah bercerai dengan hakim ketua sidang, salah seorang hakim anggota,
penuntut umum atau panitera.
(2) Hakim ketua sidang, hakim anggota, penuntut umum atau panitera
wajib mengundurkan diri dari menangani perkara apabila terikat
hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga atau
hubungan suami atau istri meskipun sudah bercerai dengan terdakwa
atau dengan panasihat hukum.
(3) Jika dipenuhi ketentuan ayat (1) dan ayat (2) mereka yang
mengundurkan diriharus diganti dan apabila tidak dipenuhi atau
tidak diganti sedangkan perkara telah diputus, maka perkara wajib
segera diadili ulangdengan susunan yang lain.
Pasal 220
(1) Tiada seorang hakimpun diperkenankan mengadili suatu perkara
yang ia sendiri berkepentingan, baik langsung maupun tidak
langsung.
(2) Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hakim yang
bersangkutan, wajib mengundurkan diri baik atas kehendak sendiri
maupun atas permintaan penuntut umum, terdakwa atau penasihat
hukum.
(3) Apabila ada keraguan atau perbedaan pendapat mengenai hal
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pejabat pengadilan yang
berwenang yang menetapkan.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam makna ayat tersebut di atas
berlaku juga bagi penuntut umum
Mengenai hal ini sangat diperlukan bantuan dari masyarakat, sebab
terdakwa atau saksi atau orang-orang dilingkungan pengadilan belum tentu
mengetahui “keterkaitan-keterkaitan” tersebut. Mungkin pula mereka
sebenarnya mengetahui mengenai “keterkaitan-keterkaitan” tersebut, akan
tetapi karena mereka diuntungkan atau “takut” untuk menyampaikan, maka hal
tersebut tidak terungkap. Ini juga mencakup peranan pengawasan (kontrol) dari
masyarakat terhadap jalannya persidangan.
Mayoritas hakim yang dijadikan responden menyatakan bahwa papan
pengumuman tersebut dapat berfungsi sebagai sarana pengawasan (kontrol)
masyarakat terhadap jalannya persidangan. Akan tetapi ternyata atas
pertanyaan apakah hal tersebut selalu terpenuhi, mayoritas responden memberikan jawaban menjadi sulit untuk dipenuhi karena munculnya berbagai
kendala teknis. Kendala ini misalnya terbatasnya ruang sidang sementara
kasusnya banyak, majelis hakim yang tidak selalu lengkap karena sedang ikut
persidangan perkara lain, keterlambatan datangnya terdakwa atau saksi. Kondisi
ini merupakan suatu persoalan yang sampai sekarang tidak pernah
terselesaikan, terutama di pengadilan-pengadilan yang terletak di kota-kota
besar.
Kedua, hal yang berhubungan dengan pemenuhan jadual sidang dan
perkembangan jalannya pemeriksaan suatu perkara. Hal ini sangat perlu
diperhatikan berhubung dengan persoalan penghargaan kepada waktu dan
kegiatan lain yang dimiliki oleh seseorang. Kehadiran seseorang sebagai
terdakwa, saksi (saksi korban, saksi biasa atau saksi ahli) atau juru bahasa
dipanggil pengadilan sebagai suatu kewajiban, dengan ancaman pidana bila
tidak memenuhinya sebagaimana diatur dalam Pasal 154 (6) UU Nomor 8 Tahun
1981atau sanksi pidana Pasal 224 dan Pasal 522 Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP)
Pasal 154
(6) Hakim ketua sidang memerintahkan agar terdakwa yang tidak hadir
tanpa alasan yang sah setelah dipanggil secara sah untuk kedua
kalinya, dihadirkan dengan paksa pada sidang pertama berikutnya.
Pasal 224
Barangsiapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut
undang-undang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan
undang-undang yang harus dipenuhinya, diancam:
1. dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama sembilan
bulan;
2. dalam perkara lain, dengan pidana penjara paling lama enam bulan.
Pasal 522
Barangsiapa menurut undang-undang dipanggil sebagai saksi, ahli atau
juru bahasa, tidak datang secara melawan hukum, diancam dengan
pidana denda paling lama sembilan ratus rupiah.
Walaupun panggilan pengadilan “wajib untuk dipenuhi”, tidak berarti
pengadilan dapat bertindak sewenang-wenang misalnya membuat yang
bersangkutan menunggu perkara disidangkan atau menunggu giliran
untuk diminta atau memberi keterangan dalam waktu yang tidak pasti.
Data di lapangan menunjukkan bahwa ketidakjelasan waktu sidang walau
telah dituliskan dalam surat panggilan seringkali (bahkan hampir selalu)
tidak dipenuhi hakim.
Tidak satupun responden yang memberikan jawaban hal yang
berhubungan dengan “keterkaitan” tersebut. Dengan kata lain responden hakim
hanya sekedar melihat bahwa “kontrol” yang dilakukan oleh masyarakat hanya
terbatas pada proses sidang yang semata-mata yakni hakim, jam, ruang dan
genda sidang. Namun mereka tidak melihatnya sebagai “kontrol” masyarakat
terhadap penerapan Pasal 157 dan Pasal 220 UU Nomor 8 Tahun 1981 secara
keseluruhan, yakni pemenuhan isi persidangan.
B Beberapa Pemikiran Sebagai Jalan Keluar
1. Menejemen pengaturan waktu sidang
Pengaturan waktu sidang sebagai bagian dari persoalan yang
berhubungan administrasi peradilan (administration of justice), sudah selayaknya
mendapatkan perhatian dan pembenahan yang serius. Target selesainya
pemeriksaan dan putusan suatu perkara pidana, lamanya penahanan yang telah
dilakukan, lamanya persidangan dilaksanakan, jumlah perkara yang akan
disidangkan, pada hari itu jumlah personel hakim dan panitera di pengadilan,
sudah seharusnya dapat diperhitungkan sebelum dilakukan pemanggilan
kepada terdakwa dan saksi.
Tindakan pengaturan waktu sidang sebagai bagian dari persoalan yang
berhubungan administrasi peradilan yang buruk berakibat terjadinya penurunan
terhadap kualitas keterangan saksi atau terdakwa yang diberikan, karena mereka
telah lelah, dan bosan menunggu untuk sesuatu yang tidak pasti. Sehingga saat
mendapat giliran mereka mungkin berada dalam kondisi memberi keterangan
seadanya saja, asal cepat selesai.
Tidak tertutup kemungkinan bahwa hal tersebut menjadikan lembaga
pengadilan tidak berwibawa atau kurang dihargai sebagai akumulasi dari
kekecewaan pencari keadilan, sebab tidak dihargainya waktu mereka oleh
pengadilan. Pada akhirnya kondisi ini akan dapat membatasi akses publik ke
peradilan pidana.
2. Memastikan Obyektivitas Penyelesaian Perkara.
Upaya memastikan obyektivitas penyelesaian perkara pidana antara lain
dapat dilakukan melalui adminstrasi peradilan. Dari “pesan hukum” yang
disampaikan melalui Pasal 157 dan Pasal 220 UU Nomor 8 Tahun 1981, masalah
“keterkaitan” dengan obyektivitas penyelesaian perkara, terletak terdapat dalam
2 (dua) hal. Pertama, hakim yang akan memeriksa dan kedua para piahk yang
terlibat dalam perkara tersebut Oleh karena yang mendistribusikan perkara
untuk diperiksa ke majelis-majelis hakim adalah Ketua Pengadilan Negeri (KPN)
(lihat Pasal 152 ayat 1), maka tanggungjawab dan jaminan bahwa para hakim
yang ditugaskan memeriksa perkara tidak mempunyai kaitan dan
berkepentingan ( baik langsung maupun tidak langsung), ada pada Ketua
Pengadilan Negeri (KPN).
Apabila pemastian obyektivitas penyelesaian perkara yang diatur dalam
Pasal 157 dibandingkan dengan persoalan yang diatur dalam Pasal 220 UU
Nomor 8 Tahun 1981, aturan Pasal 157 lebih mudah dilaksanakan. Sebagai
contoh, melalui pengungkapan identitas yang jelas dari para pihak dalam:
1. papan jadual persidangan menyangkut nama lengkap (bin, marga), alamat;
2. pengungkapan identitas para hakim, Jaksa Penuntut Umum, Panitera dan
Penasihat Hukum;
Dengan demikian meski adanya kepentingan petugas hukum (baik
langsung maupun tidak langsung) dengan suatu perkara yang ditangani adalah
persoalan yang sangat penting yang dibicarakan. Mudah diduga, bahwa
kekuasaan cakupan “kepentingan” ini sangat sulit untuk dibuktikan. Sebagai
contoh hakim mengadili suatu perkara yang bersangkutan dengan perusahaan,
padahal ia mempunyai saham atas perusahaan tersebut (yang menjadi korban
atau pelaku tindak pidana). Hakim yang telah disuap atau minta untuk disuap
pasti akan memeriksa dan memutus perkara dalam posisi yang tidak lagi netral
dan tidak independen.
BAB V
AKSES KE PERADILAN DALAM TAHAP PURNA AJUDIKASI
Pada tahap purna ajudikasi, status seorang pelaku tindak pidana sudah
jelas dinyatakan sebagai orang yang bersalah menurut hukum. Dalam posisi
yang demikian ini, sebagai orang yang telah dianggap melanggar dan
menyimpang dari norma-norma masyarakat, ia harus dibina agar dapat kembali
menjadi warga masyarakat yang taat hukum. Untuk itulah dibentuk sistem
pemasyarakatan, yang bertugas menyiapkan terpidana agar dapat berintegrasi
secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai
anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab.
Pembinaan merupakan kegiatan yang bersifat kontinyu dan intensif.
Melalui pembinaan, terpidana diarahkan agar menyadari kesalahannya,
memperbaiki diri dan tidak melakukan tindak pidana lagi. Satu hal yang sangat
penting dalam melakukan pembinaan adalah pembinaan tidak dimaksudkan
untuk menderitakan, dan terpidana tetap diakui hak-hak asasinya sebagai
manusia. Dengan kata lain, terpidana harus tetap memperoleh keadilan yang
sesuai dengan kedudukannya sebagai seorang yang telah dinyatakan bersalah
menurut hukum.
Peraturan perundang-undangan telah memberikan sejumlah hak pada
terpidana, yang merupakan jaminan bahwa ia tetap akan diperlakukan sebagai
manusia yang memiliki harkat dan martabat. Namun yang menjadi
permasalahan adalah apakah dalam kenyataannya hak-haknya itu telah
dipenuhi, sehingga jaminan itu tidak hanya berhenti pada aturannya saja.
Pada umumnya pembinaan berlangsung cukup lama, tidak dalam
hitungan hari. Keadaan yang demikian ini mensyaratkan beberapa hal, agar
kegiatan yang dilakukan dapat mencapai hasil yang diharapkan, seperti aturan
yang jelas, sumber daya manusia sebagai pembina yang memiliki ketrampilan
khusus, sarana dan prasarana serta dana yang memadai, serta adanya
pengawasan terhadap pelaksanaan pembinaan.
A. Landasan Yuridis
Sebagian besar hak terpidana, dalam hal ini narapidana, diatur dalam UU
No. 12/1995 tentang Pemasyarakatan. Sedangkan untuk hak lainnya, ada yang
diatur dalam KUHP, KUHAP, UU No. 3/1950 tentang Grasi dan beberapa
peraturan pelaksanaan, berupa PP No. 32 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata
Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, Keppres No. 174 tahun
1999 tentang Remisi, serta beberapa Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM.
Hak-hak tersebut adalah:
§ Hak untuk mendapat bebas bersyarat, cuti menjelang bebas, cuti
mengunjungi keluarga, remisi, asimilasi;
§ Hak untuk mengajukan grasi;
§ Hak untuk tidak dituntut sekali lagi atas dasar perbuatan yang sama;
§ Hak untuk mengajukan peninjauan kembali;
§ Hak untuk melakukan ibadah menurut agama dan kepercayaannya;
§ Hak untuk mendapat perawatan rohani maupun jasmani;
§ Hak untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran;
§ Hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak;
§ Hak untuk menyampaikan keluhan;
§ Hak atas upah dan premi;
§ Hak untuk menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum atau orang
tertentu lainnya.
B. Temuan di Lapangan dan Pembahasan
1. Lembaga Pemasyarakatan sudah sangat kelebihan kapasitas
Pembinaan terpidana dapat dilakukan di dalam maupun di luar
lembaga. Akan tetapi dari data yang diperoleh, ditambah dengan tulisan-tulisan
para pakar maupun hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti-peneliti
terdahulu, tampak bahwa hakim lebih banyak menjatuhkan perampasan pidana
kemerdekaan, khususnya pidana penjara. Hal ini tergambar dari kondisi
Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) tempat pidana penjara dilaksanakan, yang
sudah sangat penuh sesak melebihi kapasitas yang semestinya. Ini memang
konsekuensi logis dari peningkatan kuantitas kejahatan, yang diikuti dengan
penjatuhan pidana penjara terhadap pelakunya. Selama pidana yang dijatuhkan
sebagian besar merupakan perampasan pidana kemerdekaan, maka akan selalu
terjadi peningkatan jumlah penghuni LAPAS.
Dalam melaksanakan pembinaan, yang pada umumnya merupakan
aktifitas yang berlangsung dalam bukan hitungan hari atau bulan, maka tempat
pembinaan itu dilaksanakan merupakan suatu hal yang mutlak dibutuhkan.
Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners memberikan pedoman
mengenai akomodasi yang pada intinya mensyaratkan dipenuhinya standar
kesehatan, seperti luas minimum ruangan, cukup udara dan penerangan
(lampu), sanitasi serta sarana untuk mandi yang memadai. Di samping itu, tidak
kalah pentingnya adalah persyaratan pengelompokkan narapidana berdasarkan
katagorinya, misalnya berdasarkan criminal record-nya.27 Hal ini perlu mendapat
perhatian khusus agar jangan sampai pengaruh buruk dari narapidana yang
telah berstatus residivis, ditularkan kepada yang baru pertama kali melakukan kejahatan. Bila hal itu gagal dicegah tentunya pembinaan yang dilakukan akan
menjadi sia-sia. Namun, dengan kondisi kepadatan LAPAS rata-rata 50% di atas
kapasitas yang sesungguhnya, kriteria-kriteria ideal tersebut menjadi sangat sulit
untuk dipenuhi.
Jalan keluar yang nampaknya paling mudah dilakukan untuk
memecahkan masalah kepadatan LAPAS ini tentunya adalah dengan
membangun LAPAS baru. Namun untuk keperluan itu dibutuhkan dana yang
tidak sedikit. Alternatif pemecahan lain yang langsung berkaitan dan mungkin
untuk ditempuh adalah dengan memindahkan penghuni LAPAS yang sudah
sangat padat ke LAPAS yang relatif masih kosong disertai dengan kebijakan
menaikkan kelas kategori LAPAS. Solusi ini tentunya juga tidak mudah untuk
dilakukan, dan kemungkinan untuk dilakukan sangat kecil karena kepadatan
penghuni LAPAS sudah merata di seluruh Indonesia. Ditambah lagi
kemungkinan adanya penolakan dari terpidana untuk dipindahkan ke LAPAS
lain dengan alasan akan menimbulkan kesulitan bagi keluarga untuk
menjenguk.
Di samping jalan keluar seperti yang dipaparkan di atas, dapat dicari
solusi lain yang sesungguhnya tidak semata-mata terletak di tahap purna
ajudikasi. Seperti telah disinggung di atas, kepadatan LAPAS terutama
disebabkan oleh peningkatan kuantitas kejahatan. Akan tetapi hal tersebut tidak
merupakan dampak langsung dari peningkatan kuantitas kejahatan. Ada faktor
lain yang menjadi pendorong kondisi itu. Meskipun kejahatan meningkat, tidak
secara otomatis diikuti dengan pesatnya kenaikan penghuni LAPAS, bila perlu
hakim mengurangi penjatuhan pidana penjara dan memanfaatkan pidana denda
atau pidana lainnya, khususnya pidana non-institusional atau pidana di luar
lembaga. Akan tetapi, seperti dikatakan Muladi, pidana penghilangan
kemerdekaan (khususnya penjara) memang merupakan primadona dalam penjatuhan pidana dalam system hukum Indonesia.28 Beberapa faktor yang
diidentifikasi menjadi latar belakang demikian dominannya penjatuhan pidana
penjara dalam peradilan pidana di Indonesia, antara lain adalah faktor peraturan
perundang-undangan dan faktor manusia.
KUHP menganut dua sistem ancaman pidana yaitu tunggal dan
alternatif. Ancaman pidana dengan sistem tunggal jelas tidak memungkinkan
hakim untuk memilih pidana lain selain yang diancamkan dalam rumusan delik.
Sedangkan sistem alternatif sebenarnya memungkinkan hal tersebut, namun
sayangnya ancaman pidana denda sebagai alternatif nilainya sangat kecil dan
sudah tidak sesuai lagi dengan nilai mata uang saat ini, sehingga hakim enggan
menjatuhkannya. Sebenarnya masih ada lagi satu lembaga pelaksanaan pidana
penjara yang memungkinkan terpidana dibina di luar lembaga, yaitu pidana
bersyarat, namun nampaknya lembaga inipun masih belum banyak digunakan.29
Oleh karena itu hakim sebagai penegak hukum yang berwenang menjatuhkan
pidana, harus didorong agar mau menggunakan lembaga ini semaksimal
mungkin.
Menyadari banyak dampak buruk dari pidana penjara terhadap upaya
pembinaan narapidana, dalam RUU KUHP diperkenalkan sejumlah pidana noninstitutional
yang memungkinkan hakim untuk dengan leluasa memilih pidana
yang dirasakan paling tepat untuk dijatuhkan pada si pelaku. Dengan adanya
ketentuan ini, diharapkan hakim mengubah pola pikirnya yang hanya
mengganggap pidana penghilangan kemerdekaan yang paling cocok untuk
membina pelaku tindak pidana. Tanpa perubahan sikap ini akan sulit
memecahkan masalah kelebihan kapasitas dalam LAPAS.
28 Muladi, “Proyeksi Hukum Pidana Materiil Indonesia di Masa Datang,” (Pidato Pengukuhan Jabatan Guru
Besar Universitas Diponegoro, Semarang, 1990), hlm. 24.
29 Berdasarkan Statistik Kriminal Sumber Data Pengadilan Negeri, tahun 1997 diketahui bahwa pidana
bersyarat hanya dijatuhkan pada 5175 terpidana, sementara pidana penjara 64576, pidana kurungan 485
terpidana. Data ini diperkuat dengan data dari BAPAS Jakarta Timur – Utara, yang hanya membimbing 5
orang terpidana bersyarat pada tahun 2001.
Perubahan dan perbaikan yang telah dipaparkan di atas harus diikuti
dengan kesiapan lembaga pembinaan luar lembaga, dalam hal ini BAPAS.
Memang untuk pembinaan di luar lembaga tidak diperlukan tempat
menampung para terpidana beserta segala fasilitasnya, akan tetapi diperlukan
tenaga-tenaga professional yang memadai, baik dari segi kuantitas maupun
kualitas. Selain itu juga sarana dan prasarana terutama dana yang cukup untuk
biaya petugas memantau warga binaannya. Sebagai gambaran dapat
dikemukakan bahwa pada saat ini jumlah warga binaan di luar lembaga relatif
masih sedikit, sehingga petugas yang menangani terpidana pun dapat dikatakan
masih mencukupi.30 Akan tetapi bila pembinaan luar lembaga ingin
diprioritaskan, maka mutlak dibutuhkan petugas yang lebih banyak.
Sesungguhnya ada cukup banyak SDM di BAPAS, namun mereka belum
memiliki ketrampilan khusus dalam masalah pembimbingan. Selain itu dalam
pelaksanaan pembinaan luar lembaga tersebut koordinasi dengan penegak
hukum lain, masih sangat diperlukan untuk keamanan pelaksanaan pembinaan
itu sendiri. Hal yang terjadi selama ini adanya kurang koordinasi antara petugas
BAPAS dengan penegak hukum yang lain, baik polisi, jaksa maupun hakim
(wasmat). Masalah koordinasi dalam hal keamanan, juga perlu mendapat
perhatian khusus. Oleh karena harus dihindari timbulnya rasa tidak aman pada
warga masyarakat lain, dengan bebas berkeliarannya terpidana tanpa
pengawasan yang baik. Khusus mengenai sikap warga masyarakat perlu juga
untuk diberikan pemahaman bahwa tidak setiap pelaku tindak pidana harus
masuk penjara, bahkan masyarakat harus pula didorong partisipasinya untuk
turut mengawasi terpidana yang sedang dibina di luar LAPAS.
2. Tidak Memadainya Fasilitas di LAPAS
Dalam kaitan dengan masalah kelebihan kapasitas, maka menjadi
permasalahan pula tentang pemenuhan hak-hak terpidana atas kebutuhan fisik serta fasilitas yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Hal pokok dalam
persoalan ini misalnya fasilitas untuk tidur, memeriksakan kesehatan dan
makan. Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa fasilitas yang disediakan,
jauh dari mencukupi, misalnya perlengkapan untuk tidur, makan dan untuk
hiburan. Hal ini disebabkan oleh minimnya dana yang dialokasikan.31 Oleh
karena itu para petugas mengambil kebijakan untuk memperbolehkan terpidana
melengkapi sendiri fasilitas yang dianggapnya kurang itu dengan membawanya
dari luar LAPAS. Kebijakan ini nampaknya merupakan salah satu jalan keluar
terbaik yang dapat ditempuh. Namun harus dipertimbangkan kemungkinan
timbulnya kesan perlakuan diskriminatif terhadap narapidana, yang dapat
menjadi pemicu keributan dalam LAPAS, dan pada akhirnya akan mengganggu
proses pembinaan.
Di samping itu perlu juga diteliti ketentuan-ketentuan tentang penjara
dalam KUHP, yang pada dasarnya masih berlatar belakang pemikiran bahwa
penjara adalah tempat penjeraan. Dengan demikian narapidana dilarang
memperbaiki kondisinya di penjara atas biayanya sendiri. Apabila ketentuanketentuan
seperti ini masih ada, berarti kebijakan yang memperbolehkan
terpidana melengkapi fasilitasnya di penjara adalah bertentangan dengan
KUHP. Dampak yang mungkin terjadi dari kondisi adalah adanya perbedaan
kebijakan antara LAPAS yang masih memegang teguh ketentuan KUHP dan
LAPAS yang lebih moderat dan lebih mengedepankan pemenuhan hak-hak
asasi manusia. Kondisi ini harus segera diakhiri, dengan membuat satu
kebijakan yang sama dalam menghadapi satu persoalan. Dengan cara ini dapat
dihindari kesan perlakuan diskriminatif dan kecurigaan adanya penyimpangan.
3. Bantuan Hukum di LAPAS
Permasalahan lain yang menonjol dalam tahap purna ajudikasi ini adalah
bantuan hukum. Apabila pemberian bantuan hukum yang pada tahap
sebelumnya (pra ajudikasi dan ajudikasi) belum dapat dikatakan memuaskan,
dalam tahap pelaksanaan pidana kondisinya lebih memprihatinkan lagi.32
Padahal dalam tahap ini, meskipun telah dinyatakan bersalah menurut hukum,
terpidana tetap seorang manusia yang harus diperhatikan hak-hak asasinya.
Kedudukan terpidana yang lemah dan terkungkung dalam tembok, sangat
rawan untuk dilanggar hak-haknya. Selain itu, perundang-undangan telah
memberi sejumlah hak yang sifatnya sangat tergantung pada kebijaksanaan
petugas pembina, sehingga bila diperlakukan tidak adil akan sulit bagi terpidana
yang kebanyakan awam hukum untuk menuntut haknya. Misalnya hak untuk
mendapat cuti dan remisi; seandainya terjadi kelalaian dari petugas mengenai
pelaksanaan haknya ini, maka suatu hal yang hampir mustahil bagi terpidana
untuk berani menuntutnya.
Di samping untuk keperluan memperjuangkan hak-hak terpidana sendiri,
bantuan hukum bagi seorang terpidana juga dimaksudkan untuk membantu
setiap permasalahan hukum yang berkaitan dengan dirinya dan keluarganya.
Jadi bantuan hukum bagi terpidana justru lebih luas, karena hal ini berkaitan
dengan proses pembinaan terhadap dirinya. 33 Bagaimana mungkin seorang
terpidana akan mengikuti pembinaan dengan baik, bila pikirannya terganggu
dengan masalah keluarga (terutama yang berkaitan dengan hukum). Jadi dalam
rangka pembinaan ini memang segala upaya harus dilakukan agar terpidana mau melaksanakan pembinaan; walaupun termasuk di dalamnya hal-hal yang
tidak terkait langsung dengan pembinaan itu sendiri.
Dalam ketentuan perundang-undangan memang tidak ada ketentuan
yang tegas menyatakan bahwa terpidana berhak atas bantuan hukum. Ketentuan
dalam KUHAP tentang bantuan hukum (Pasal 54) hanya menyebut tersangka
atau terdakwa yang berhak mendapat bantuan hukum, selama dalam waktu
dan pada setiap tingkat pemeriksaan. Akan tetapi hak untuk mendapat
kunjungan dari penasihat hukumnya merupakan salah satu hak yang miliki
oleh terpidana. Dari ketentuan yang terakhir ini tersirat bahwa terpidana berhak
untuk mendapat bantuan hukum. Dengan mempertimbangkan segi positif dari
bantuan hukum, alangkah baiknya bila ada ketentuan yang tegas tentang
bantuan hukum bagi terpidana. Bahkan bila hukumannya lima tahun lebih,
bantuan hukum itu selayaknya menjadi wajib diberikan.
4. Tidak tersedia tenaga psikolog di LAPAS
Sehubungan dengan hal yang dikemukakan belakangan, maka kehadiran
seorang psikolog pun menjadi sangat penting. Tidak sedikit terpidana yang
merasa dirinya tidak bersalah, walaupun mereka nyata-nyata telah melakukan
perbuatan yang didakwakan. Sikap semacam ini akan menghambat proses
pembinaan, karena ia mungkin akan terus menolak setiap program yang
dimaksud untuk membinanya. Dengan kehadiran seorang psikolog sebagai
orang yang ahli dibidang kejiwaan, maka diharapkan dapat memberikan jalan
dalam membina terpidana yang mempunyai “masalah kejiwaan” seperti ini.
Selain itu, masalah disparitas pidana juga dapat mempengaruhi sikap terpidana
dalam menjalani program. Dari penelitian lapangan diperoleh temuan bahwa
belum ada satu LAPAS pun yang menyediakan tenaga psikolog dalam rangka
pembinaan terhadap para terpidana, meskipun disadari manfaat dari
keberadaan mereka. Seandainya aktifitas ini terbentur pada masalah dana,
maka jalan keluar yang harus ditempuh adalah mengadakan kerja sama dengan perguruan tinggi yang mempunyai fakultas psikologi, yang memungkinkan para
mahasiswa tingkat akhir yang sedang kerja praktek untuk magang di LAPAS
maupun BAPAS.
5. Hakim Wasmat tidak berjalan Efektif
Keberhasilan suatu kegiatan ditentukan pula oleh adanya pengawasan
terhadap pelaksanaan kegiatan tersebut. Pada umumnya, setiap lembaga telah
mempunyai mekanisme pengawasan dari dalam lembaga sendiri, yang disebut
sebagai pengawasan internal. Namun obyektifitas pengawasan yang bersifat
internal ini sering kali dipertanyakan, sehingga dianggap masih diperlukan
pengawasan yang berasal dari luar lembaga (eksternal). Pengawasan eksternal
dapat berasal dari sesama penegak hukum (sub system lain), dari lembaga
khusus yang dibentuk oleh pemerintah, dari masyarakat yang dapat berupa
lembaga swadaya masyarakat, atau masyarakat perorangan.
Untuk tahap pelaksanaan pidana ini, oleh KUHAP telah diperkenalkan
suatu lembaga khusus yang pada masa peraturan yang digantikannya (HIR)
tidak ada, yaitu lembaga hakim pengawasan dan pengamatan (wasmat).
Lembaga ini dimaksudkan untuk mengawasi dan mengamati pelaksanaan
putusan hakim; dan dilaksanakan oleh hakim dengan masa jabatan dua tahun.
Dalam prakteknya lembaga ini tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan.
Hambatan dari berbagai segi yang menjadi alasan tidak efektifnya lembaga ini,
mencakup hambatan dari segi peraturan perundang-undangan, hambatan dari
segi fasilitas, hambatan dari segi hakim wasmatnya sendiri serta hambatan dari
segi aparat penegak hukum lainnya. 34 Belum sempurnanya aturan mengenai
hakim wasmat mengakibatkan berbedanya penafsirannya antara hakim wasmat
dan pihak-pihak lain yang terkait tentang tugas hakim wasmat. Kondisi ini
sekaligus menjadi penghambat, karena tidak adanya koordinasi antara hakim
wasmat dengan jaksa dan petugas LAPAS, serta timbulnya anggapan bahwa pelaksanaan tugas mereka.35 Oleh karena itu
aturan dalam KUHAP tentang lingkup tugas dan wewenang hakim wasmat
perlu lebih dirinci dalam peraturan pelaksanaan.
Pandangan hakim wasmat terhadap tugasnya yang dianggap sebagai
beban dan tugas tambahan merupakan faktor penghambat yang lebih sulit untuk
diatasi, dibandingkan tidak tersedianya fasilitas khusus bagi hakim wasmat
dalam menjalankan tugasnya, seperti kendaraan, dana operasional maupun
ruangan khusus untuk bertugas di lembaga yang dikunjungi. Dengan kondisi
perekonomian negara yang belum memungkinkan untuk pengadaan fasilitas,
salah satu jalan keluar yang mungkin ditempuh adalah dengan memberikan
angka kredit pada hakim yang telah menjalankan tugas sebagai hakim wasmat.
Angka kredit ini merupakan kompensasi dan penghargaan, agar tugas hakim
wasmat tidak lagi dipandang sebagai beban dan tugas tambahan yang tidak ada
ada nilainya.
Dalam masalah pengawasan, UU Pemasyarakatan (UU No. 12 tahun 1995)
memperkenalkan suatu lembaga yang bernama Tim Pengamat Pemasyarakatan
(TPP). Tim yang terdiri dari pejabat-pejabat LAPAS, BAPAS atau pejabat terkait
lainnya ini antara lain bertugas memberikan penilaian atas pelaksanaan program
pembinaan dan pembimbingan serta menerima keluhan dan pengaduan dari
warga binaan pemasyarakatan. Nampak bahwa lembaga ini memiliki tugas
pengawasan terhadap pelaksanaan tugas pembinaan. Dalam hal komposisi
anggota, sebagian besar berasal dari internal institusi pemasyarakatan,
meskipun hakim wasmat serta pihak luar institusi pemasyarakatan termasuk
dalam komposisi anggota untuk TPP daerah36. Dengan komposisi yang seperti ini, agak sulit untuk mengharapkan TPP dapat melakukan pengawasan secara
maksimal.
Di samping TPP, ada satu lembaga lagi yang diperkenalkan oleh UU
Pemasyarakatan dalam upaya mengefektifkan system pemasyarakatan dalam
melakukan pembinaan. Lembaga yang bernama Balai Pertimbangan
Pemasyarakatan terdiri dari para ahli di bidang pemasyarakatan yang
merupakan wakil dari instansi terkait, badan non pemerintah dan perorangan
lainnya. Jadi seperti TPP, dalam lembaga ini ada keterlibatan pihak di luar
pemasyarakatan, yang dapat terdiri dari kalangan organisasi
advokat/pengacara, dan lembaga swadaya masyarakat. Namun lembaga ini
tidak mempunyai fungsi pengawasan, karena tugasnya adalah memberi saran
dan atau pertimbangan kepada Menteri.
Dengan membandingkan kedua lembaga, terutama dari fungsi dan
komposisi keanggotaannya, alangkah baiknya apabila unsur pihak luar
diperbanyak pada lembaga yang berfungsi pengawasan. Hal ini dimaksudkan
agar penilaian terhadap kinerja dan hasil kerja aparat pembina dilakukan secara
obyektif serta sungguh-sungguh dan bukan sekedar formalitas.
BAB VI
PANDANGAN AKADEMISI TERHADAP
MASALAH AKSES KE PERADILAN
Penelitian lapangan terhadap Akademisi dilakukan di empat wilayah
terhadap lima responden. Berhubung tidak ada perubahan daftar pertanyaan
untuk responden dari kalangan Akademisi, maka hasil try out terdahulu
terhadap dua responden tetap diikutsertakan untuk memperkaya perolehan data
dan analisis penelitian.
Kepada responden diajukan sejumlah pertanyaan yang meliputi tentang
hak Tersangka/Terdakwa; penghargaan dan perlindungan terhadap saksi/saksi
korban; sikap Polisi dalam menangani laporan masyarakat; kewenangan
Kepolisian dan Kejaksaan; bantuan hukum; posisi Hakim dan Panitera; serta
persepsi responden tentang akses ke peradilan.
Pemeriksaan Terhadap Tersangka/Terdakwa
KUHAP telah merumuskan sejumlah hak tersangka yang patut diperolehnya,
tetapi dalam praktek pemenuhan hak-hak tersebut sering menimbulkan
masalah. Terhadap hal ini menurut seorang responden, pertama-tama harus
dilihat apakah tersangka didampingi pengacara atau tidak. Kalau didampingi, ia
diproses normal, tapi kalau ia tertangkap oleh masyarakat dan tidak didampingi
pengacara maka ia menjadi bulan-bulanan. Seluruh responden menyatakan
bahwa aparat tidak memperhatikan hak-hak Tersangka/ Terdakwa, padahal
tidak semua orang mempunyai uang untuk membayar pengacara dan menurut
dua responden tidak semua mengerti adanya LBH yang gratis.
Masyarakat kurang sadar akan haknya papar lima responden, dan menurut
tiga responden Polisi tidak memberi tahu, walaupun sudah diatur dalam
peraturan perundang-undangan. Bahkan menurut seorang responden, KUHAP
masih berpihak pada Pelaku tindak pidana daripada terhadap saksi/ saksi
korban, contohnya: Pasal 183 KUHAP.
Sulitnya Penasihat Hukum untuk menjumpai Tersangka/Terdakwa menurut
seorang responden, merupakan indikasi tidak terpenuhinya hak-hak
Tersangka/Terdakwa. Asas praduga tak bersalah (UU Pokok Kekuasaan
Kehakiman) harus ditegaskan. Ganti kerugian dalam KUHAP harus benar-benar
diberikan.
Seluruh responden menyarankan, agar tersangka selalu didampingi
Penasihat Hukum agar mereka diperlakukan dengan layak. Tiga responden
menghendaki agar Polisi yang menghadapi Tersangka/Terdakwa diberikan
pendidikan khusus karena Profesionalisme diperlukan, Polisi melakukannya
harus karena tanggung jawab, bukan karena promosi jabatan. Seorang
responden menyarankan agar Hak-hak tersangka/terdakwa harus diperjelas
dan harus diimplementasikan karena pelaku adalah manusia yang mempunyai
HAM.
Pemeriksaan Terhadap Saksi
Seluruh responden berpendapat bahwa selama ini peraturan yang ada
memang tidak melindungi kepentingan saksi, sehingga terkesan keselamatan
saksi tidak penting. Bahkan lima responden menyatakan tak jarang kasus-kasus
tidak selesai karena saksinya “hilang”.
Seharusnya saksi dilindungi karena ini merupakan hak sebagai manusia.
Pendapat seorang responden, di Indonesia perlindungan saksi belum mencakup
nilai kebenaran dan keadilan, contoh Pasal 183 KUHAP tentang ketentuan dua
alat bukti dalam kasus perkosaan justru merugikan saksi.
Seorang responden menyatakan sebaiknya status seseorang jangan
ditentukan dulu pada waktu ia dimintakan keterangan, sehingga tidak ada
kekhawatiran yang bersangkutan kelak dijadikan tersangka.Saksi perlu dikawal
Polisi agar merasa aman dan berani memberikan kesaksian.
Disarankan oleh tiga responden, perlu dibuat lembaga perlindungan saksi
sehingga keselamatan mereka terjamin. Di samping itu menurut seluruh
responden, perlu ada pelayanan keperluan mereka yang berkaitan dengan
kasus yg dihadapinya misalnya ongkos ke pengadilan. Saksi perlu didampingi
Penasihat Hukum atas biaya negara, agar ia tidak ditekan atau diintimidasi.
Perlu pengaturan keseluruhan tentang perlindungan saksi dan kekuatan
kesaksiannya.
Profesionalisme dan Sikap Polisi dalam Merespon Laporan Masyarakat
Menanggapi sikap polisi yang tidak respon terhadap penanganan laporan
saksi/saksi korban dan pelaku, tiga responden berpendapat bahwa berurusan
dengan pihak kepolisian memang sulit. Misalnya tidak terselesaikannya suatu
kasus karena tidak ada dana, seolah-olah korban yang harus mendanai.
Empat responden menyatakan bahwa masyarakat takut berurusan dengan
Polisi, misalnya ada laporan tindak pidana dengan cukup bukti tapi laporan
tersebut dicabut dengan bayaran tertentu.
Seluruh responden memaparkan bahwa masalahnya terletak pada
profesionalisme, Polisi yang professional dalam bertugas akan bertindak sesuai
peraturan yang ada. Tiga responden mengungkapkan bahwa masyarakat tidak
percaya pada Polisi, jadi mereka harus memperbaiki citranya sebagai pelindung
masyarakat.
Seluruh responden menyarankan perlu peningkatan kesejahteraan dan
mental polisi dimulai dari jenjang yang paling bawah. Empat responden
menyarankan perlu pelatihan bagi Polisi yang bertugas dalam interograsi, agar
mereka dapat lebih menggunakan otak daripada otot. Dari pelatihan tersebut diharapkan dapat terbentuk pola interograsi yang efektif dan efisien. Dua
responden menyarankan, diperlukan Kode etik profesi Polisi, dan mutasikan
mereka yang tidak professional.
Kewenangan Polisi dan Jaksa
Di Kejaksaan lebih kurang sama dengan di kepolisian menurut lima
responden. Sebagai contoh: ada kasus tawuran remaja SMA, orang tua remaja
tersebut berusaha membayar Jaksa agar tuntutannya diperingan. Hal ini dapat
dijadikan indikator bahwa mental para jaksa tersebut kurang baik.
Tiga responden menyatakan perlu reposisi tugas dan kewenangan jaksa.
Seharusnya ada kerjasama antara polisi dan Jaksa dalam menangani kasus,
bukan rebutan kasus. Reposisi diperlukan, agar perkara tidak menumpuk
berbulan-bulan. Tetapi sebaliknya empat responden berpendapat bahwa reposisi
tugas Kejaksaan tidak diperlukan, sepanjang mereka dapat bertugas dengan
baik yaitu tidak memilih-milih kasus yang menguntungkan atau tidak. Ada
koordinasi yang baik antara Jaksa dan Polisi sehingga jalannya pemeriksaan
kasus menjadi lancar.
Disarankan oleh dua responden bahwa untuk keperluan proses di
pengadilan seharusnya ketentuan HIR digabung dengan KUHAP sehingga Jaksa
bisa mengubah untuk kepentingan masyarakat pencari keadilan, karena yang
terjadi selama ini Jaksa hanya menerima hasil penyidikan Polisi, tidak boleh
mengubah BAP/resume kasus. Selain itu diperlukan batasan yang tegas antara
kewenangan Polisi dan Jaksa.
Masalah Bantuan Hukum dan Tanggungjawab Oraganisasi Profesi
Di antara responden yaitu sebanyak tujuh orang berpendapat bahwa
Pemerintah perlu campur tangan dalam pengaturan organisasi pengacara.
Banyaknya organisasi pengacara menjadi kurang terkoordinasi. Campur tangan pemerintah dimungkinkan untuk kesatuan organisasi pengacara sehingga
tercapai keadilan bagi masyarakat. Campur tangan pemerintah masih
diperlukan, tetapi bukan intervensi.
Selanjutnya semua responden mengungkapkan bahwa bantuan hukum
kurang dipublikasikan sehingga masyarakat tidak tahu adanya fasilitas tersebut.
Bantuan Hukum menurut mereka masih terbatas karena dalam KUHAP yang
wajib didampingi Penasihat hukum adalah Tersangka/Terdakwa dengan
ancaman pidana 5 tahun atau lebih.
Menurut semua responden, tidak banyak pengacara /organisasinya yang
mau membantu orang miskin, kecuali yang punya akses ke publik. Menurut
dua responden, sikap Pengacara yang hanya menangani perkara yang
mendatangkan uang saja, perlu dicermati oleh sebab itu masih diperlukan
campur tangan pemerintah. Semua responden berpendapat, Posbakum harus
diperkuat, Pengacara yang tergabung di dalamnya digaji Pemerintah.
Lima responden menyatakan, penyimpangan yang dilakukan Pengacara
disebabkan mereka lebih memperhatikan kepentingan kliennya daripada
fungsi mereka sebagai penegak hukum.
Lima responden menyarankan, Pengacara dalam tugasnya harus berpegang
pada prinsip bantuan hukum. Pemerintah perlu menyediakan dana bantuan
hukum terutama untuk peningkatan posbakum. Semua responden menyarankan
perbanyak LBH sampai ke tingkat Kecamatan/Desa.
Posisi Hakim dan Panitera
Untuk memperbaiki posisi hakim, semua responden menyatakan, bahwa
penyelesaian kasus harus cepat dan adil tanpa memihak siapapun. Lima
responden mengakui, kondisi hakim terkadang sulit, terutama untuk kasus yang
mendapat perhatian masyarakat. Dua responden menyatakan sebaiknya Hakim
jangan memutus karena rutinitas, seharusnya memutus karena misi dalam
menjalankan tugas.
Semua responden menyarankan agar Pemerintah memperhatikan
kesejahteraan hakim. Lima responden menyarankan perlu perbaikan system
recruitment, mutasi dan pengawasan Hakim. Dua responden menyarankan agar
Hakim yang membuat putusan jelek dihambat kenaikan pangkatnya.
Semua responden sependapat bahwa peraturan yang mengatur kepaniteraan
masih relevan, hanya pelaksanaannya belum maksimal. Sering Panitera
bertindak atas nama hakim (atas instruksi Hakim atau tidak) meminta sejumlah
bayaran kepada pihak-pihak yang beracara. Kondisi di pengadilan memberi
peluang kepada panitera untuk berbuat lebih
Enam responden menyarankan perlu pengawasan terhadap sikap tindak
panitera yang mempersulit masyarakat untuk memperoleh akses ke peradilan.
Perlu perbaikan mental Panitera agar siap membantu masyarakat.
Administrasi peradilan perlu transparan dan memudahkan masyarakat.
Sebaiknya dibuat program komputerisasi administrasi peradilan agar mudah
mengakses data, saran dari lima responden.
Akses Ke Peradilan dan realita di dalam Pelaksanaannya
Dalam persepsi seluruh responden, realita yang ada sekarang adalah
masyarakat lebih banyak menerima penyelewengan dari proses peradilan
daripada mendapat keadilan. Uang adalah faktor yang sangat mempengaruhi
hal tersebut. Akses ke peradilan pidana tidak jelas, tidak ada petunjuk bagi
masyarakat yang datang ke pengadilan. Sehingga menurut dua responden,
perlu dibuat papan pengumuman sebagai petunjuk. Semua responden
mengakui kalau masyarakat sulit memperoleh akses yang diibaratkan berbelitbelit
seperti lingkaran setan.
Menurut empat responden di setiap instansi masih ada hambatan karena
birokrasi pegawai negeri yang tidak dapat dihindari.
Empat responden mengusulkan harus ada pembaruan sistem hukum dan
pengawasan terhadap kinerja penegak hukum dengan sanksi yang tegas dan benar-benar dilaksanakan. Lima responden mengusulkan perlu ada Humas/biro
khusus untuk menangani permasalahan yang berhubungan dengan kasus.
Tiga responden menyarankan perlu komputerisasi peradilan sehingga website
bisa diakses melalui internet. Enam responden mengusulkan perlu langkah
perbaikan untuk mengangkat citra peradilan dengan pencerahan, penyuluhan,
agar masyarakat mengerti masalah-masalah hukum.
Hasil penelitian lapangan dianalisis dengan merujuk pada 5 permasalahan;
1. Hak-hak apa sajakah yang dimiliki masyarakat untuk memperoleh
akses ke peradilan?
2. Sejauh manakah hak- hak tersebut diimplementasikan?
3. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi implementasinya?
4. Bagaimana persepsi publik dan realita tentang akses ke peradilan?
5. Langkah-langkah untuk meningkatkan akses ke peradilan.
Dari hasil wawancara dengan 7 (tujuh) orang akademisi, nampak yang paling
mengemuka adalah hak untuk memperoleh informasi dari berbagai instansi
penegak hukum, antara lain:
a. informasi untuk memperoleh bantuan hukum
b. informasi untuk memperoleh perlindungan bagi saksi/saksi
korban
c. informasi untuk memperoleh ganti kerugian bagi saksi korban
d. informasi untuk memperoleh jalannya kasus di pengadilan
Implementasi hak-hak bagi Tersangka/Terdakwa di tingkat instansi
Kepolisian dirasakan sulit untuk memperoleh informasi bahwa mereka berhak
atas bantuan hukum. Adanya bantuan hukum gratis di peradilan juga kurang
dikedepankan, sehingga yang ada dalam pikiran mereka adalah bantuan hukum
identik dengan adanya pembayaran yang kurang terjangkau oleh kemampuan
materiil mereka.
Informasi mengenai perlindungan Saksi/Saksi Korban juga tidak nampak,
instansi penegak hukum hanya berpikir untuk kepentingan mereka, sehingga kurang memperhatikan pihak saksi/saksi korban. Ganti kerugian bagi saksi
korban juga belum terungkap.
Di pengadilan, informasi sulit diperoleh, birokratis, berbelit,belit, tidak
sistematik. Sedangkan instansi Kepolisian, implementasi atas informasi untuk
memperoleh bantuan hukum terhambat karena Polisi ingin proses penyidikan
berlangsung cepat, tanpa “campur tangan” Penasihat Hukum. Juga keterbatasan
bahkan tidak adanya dana di instansi ini untuk menyediakan bantuan hukum
gratis. Di Kejaksaan juga keadaannya tidak banyak berbeda. Posbakum baru
tersedia pada persidangan di pengadilan. Pengacara di luar posbakum, enggan
memberkan bantuan hukum gratis, kecuali kalau kasus yang bersangkutan bisa
mencuatkan nama mereka ke publik.
Perlindungan bagi saksi/saksi korban di Kepolisian dan Kejaksaan,
hambatannya menyangkut sumber dana dan sumber daya manusia yang
tersedia. Di pengadilan, hakim bisa memerintahkan perlindungan saksi/saksi
korban untuk kasus-kasus tertentu (kasus berat yang menjadi sorotan
masyarakat).
Ganti kerugian bagi saksi korban hambatannya adalah meliputi pendanaan
dari pihak yang menimbulkan kerugian. Informasi untuk memperoleh jalannya
kasus di pengadilan terhambat karena belum adanya sistem informasi yang
menggunakan komputer, sikap panitera yang kadang lebih berkuasa dari
Hakim, juga belum adanya lembaga Humas yang baik di setiap peradilan.
Publik yang tidak kuat secara ekonomi cenderung sudah mempunyai
persepsi “sulit” untuk berurusan dengan seluruh instansi penegak hukum.
Karena mulai dari tingkat Kepolisian sudah ada kesan, bahwa untuk jalannya
suatu kasus perlu didanai sendiri. Di setiap tingkatan penegak hukum, kekuatan
uang selalu bermain. Pada saat ada bantuan hukum gratis di tingkat pengadilan,
maka pada saat itu pula telah terjadi pelanggaran-pelanggaran hak di instansi
sebelumnya.
Beberapa langkah untuk meningkatkan akses ke peradilan antara lain
ditemukan sebagai berikut:
1. Harus ada keterbukaan informasi dari seluruh instansi penegak
hukum, minimal yang berkenaan dengan hak-hak masyarakat. Dengan
keterbukaan itu maka akan berlangsung pengawasan baik sesama
instansi penegak hukum maupun dari masyarakat.
2. Di setiap instansi perlu diperkuat kehumasan yang menguasai persoalan
instansinya dalam rangka pelayanan hak-hak masyarakat.
3. Komputerisasi, walaupun mahal nampaknya merupakan keharusan
yang tidak dapat ditunda lagi. Karena pengolahan data yang baik dari
setiap instansi penegak hukum akan mempermudah pekerjaannya
sendiri dan mempermudah masyarakat untuk memperoleh informasi
hak-hak mereka.
BAB VII
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. Kesimpulan
Dari penelitian yang telah dilakukan secara umum dapat disimpulkan
bahwa:
Warga masyarakat telah diberi sejumlah hak oleh perundang-undangan yang
dapat menjaminnya untuk memperoleh akses ke peradilan. Secara umum dapat
dikatakan bahwa hak-hak yang diberikan kepada pencari keadilan dalam sistem
peradilan pidana di Indonesia tidak tertinggal dari negara-negara lain dan telah
mengikuti norma-norma dan prinsip-prinsip dalam instrumen-instrumen
internasional. Namun dalam implementasinya masih belum sesuai dengan
harapan, seperti dapat dilihat dalam temuan-temuan di bawah ini:
1. Masih ada warga masyarakat yang tidak mengetahui ke mana harus
melaporkan/mengadukan tindak pidana yang dialami/diketahuinya,
masih ada warga masyarakat yang menganggap melapor/mengadu pada
aparat penegak hukum sebagai perbuatan yang membuang-buang waktu
dan biaya, ada yang menganggap polisi kurang tanggap terhadap
laporan/pengaduan yang disampaikan.
2. Masih banyak pencari keadilan yang tidak mengetahui hak-haknya,
seperti hak atas bantuan hukum, hak untuk memberikan keterangan
secara bebas, hak untuk memperoleh penangguhan penahanan.
3. Alasan yang bersifat subyektif masih mendominasi tindakan penahanan,
dikabulkannya atau ditolaknya permohonan penangguhan penahanan
atau pengalihan jenis penahanan.
4. Masih ada tersangka/terdakwa maupun saksi yang mengalami perlakuan
kasar dan dipojokkan pada saat memberikan keterangan pada aparat.
5. Jumlah tersangka/terdakwa yang mendapat bantuan hukum dalam
proses pemeriksaan masih relatif sedikit, karena tidak mengetahui hak tersebut dan/atau tidak mampu membayar penasihat hukum dan tidak
mengetahui adanya bantuan hukum cuma-cuma.
6. Masih ada aparat yang menyarankan agar tersangka/terdakwa tidak
didampingi penasihat hukum atau mencabut kuasanya dalam hal ia
sudah memiliki penasihat hukum.
7. Masih terjadi saling lempar tanggung jawab antar sub sistem SPP dalam
pemenuhan hak pencari keadilan.
8. Masih kurang koordinasi antar sub sistem SPP.
9. Masih kurangnya perhatian aparat penegak hukum pada korban sebagai
pihak yang langsung dirugikan dalam tindak pidana.
10. Masih ada sikap inkonsisten dari aparat penegak hukum dalam
melaksanakan tugasnya (kadang bersikap formal legalistis, di saat lain
berfikiran praktis: bila tidak ada ketentuan tegas yang memberi kewajiban
padanya, maka tidak akan dilaksanakan; tetapi kadang meskipun ada
aturan yang mewajibkan, selama tidak ada keberatan dari pencari
keadilan maka hal itu tidak dilaksanakan).
11. Aparat kadang masih berfikir secara parsial (hanya demi kepentingan
lembaga sendiri) dalam bertindak dan tidak melihat tujuan keseluruhan
sistem.
12. Terjadi kelebihan kapasitas yang sangat luar biasa di Lembaga
Pemasyarakatan.
13. Anggaran dan fasilitas yang sangat jauh dari memadai untuk pelaksanaan
proses pemeriksaan dan pemenuhan hak-hak pencari keadilan, misalnya
dalam hal bantuan hukum, kondisi di LAPAS, administrasi di pengadilan.
14. Lembaga hakim Wasmat (Pengawas-Pengamat) tidak berfungsi.
15. Rendahnya kinerja aparat penegak hukum sangat dipengaruhi oleh
kurangnya sarana dan prasarana yang tersedia.
Berdasarkan temuan-temuan di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor
yang mempengaruhi implementasi hak-hak pencari keadilan adalah:
1. Peraturan Perundang-undangan:
§ Belum mengatur tentang suatu hal yang seharusnya terdapat dalam
proses peradilan pidana. Perlidungan bagi korban dan saksi, hak-hak para
pihak yang tidak terlibat langsung dalam proses peradilan pidana,
peraturan pelaksana untuk BAPAS, peraturan pelaksana untuk hakim
wasmat, kurangnya pidana alternatif, sehingga hakim selalu menjatuhkan
pidana penjara;
§ Sebagai konsekuensi dari disahkannya konvensi anti penyiksaan
sebagaimana tertuang dalam UU No.5 Tahun 1998, perlu direalisasi UU
yang menegaskan larangan adanya penyiksaan;
§ Tidak jelas/multi interpretasi. Masalah penahanan, penangguhan
penahanan, pelaksanaan hak-hak tersangka/terdakwa/terpidana,
menimbulkan berbagai intepretasi, yang pada akhirnya menimbulkan
perbedaan perlakuan terhadap para pencari keadilan;
§ Tanpa sanksi/alat pemaksa. Diperlukan aturan-aturan yang memberikan
sanksi terhadap aparat yang melakukan pelanggaran dalam proses
pemeriksaan tersangka, serta konsekuensi yuridis atas pelanggaran
tersebut.
§ Tidak adanya pengaturan yang berimbang antara hak dan kewajiban.
Dalam KUHAP, hak dan kewajiban tidak berjalan pada posisi sebenarnya,
sehingga tidak dipenuhinya hak seseorang bukan merupakan kewajiban
pihak lain untuk memenuhinya.
2. Manusia
a. Pencari keadilan:
§ yang terlibat langsung : buta hukum, tidak mampu secara
ekonomi, pasrah.
§ yang terlibat tidak langsung: buta hukum, merasa tidak
berkepentingan.
b. Aparat:
§ kurang memahami tugasnya
§ kemampuan/ketrampilan yang kurang memadai
§ bersifat tertutup
§ Tidak/Kurang adanya jaminan keselamatan
3. Sarana dan Prasarana
§ Anggaran yang minim
§ Fasilitas yang jauh dari memadai
B. Rekomendasi
Berdasarkan temuan dan kesimpulan tersebut di atas, maka diajukan
beberapa rekomendasi sebagai berikut:
1. Perlu dilakukan revisi terhadap KUHAP agar ketentuannya tidak hanya
menjadi ketentuan yang mati. Hal ini terutama untuk pasal-pasal yang
memberikan hak kepada tersangka, terdakwa, terpidana tetapi tidak
diikuti dengan pemberian kewajiban pada penegak hukum untuk
memenuhinya, seperti Pasal 52, 54 dan 55 KUHAP. Bahkan untuk
memperkuat ketentuan tersebut, harus ada sanksi yang jelas dan tegas
bagi yang tidak memenuhinya; misalnya sanksi batal demi hukum untuk
setiap tindakan yang dilakukan tanpa mengindahkan persyaratan dalam
ketentuan.
2. Perlu dibuat peraturan perundang-undangan sampai dengan peraturan
pelaksanaan untuk setiap hal yang telah diatur dalam KUHAP, misalnya
UU Perlindungan Saksi dan Korban, Peraturan Pelaksanaan tentang
Hakim Wasmat.
3. Perlu dilakukan revisi terhadap KUHP, khususnya untuk ketentuan yang
berkaitan dengan pemidanaan, yaitu tentang jenis-jenis pidana.
4. Perlu dikembangkan sistem interogasi yang jauh dari berbagai bentuk
penyiksaan dan perlakuan kekerasan oleh aparat.
5. Perlu dibuat ketentuan yang memberikan sanksi pada aparat yang
melakukan kekerasan dan tekanan-tekanan pada waktu melakukan
pemeriksaan.
6. Perlu digalakkan kembali penyuluhan-penyuluhan hukum bagi
masyarakat.
7. Perlu campur tangan pemerintah untuk mengatur organisasi pengacara,
agar mereka bersedia membantu orang tidak mampu (berpegang pada
prinsip bantuan hukum).
8. Perlu disosialisasikan adanya bantuan hukum bagi masyarakat awam
yang tidak mampu.
9. Perlu ditingkatkan kualitas moral, ketrampilan, serta kehidupan aparat
penegak hukum.
10. Perlu dilakukan peningkatan kualitas SDM aparat penegak hukum
melalui pelatihan-pelatihan, untuk mengasah kepekaan, kemampuan dan
ketrampilan.
11. Perlu ada mekanisme kontrol yang dapat berjalan secara efektif.
12. Harus ada transparansi dalam proses pemeriksaan, sehingga mekanisme
kontrol dari sub sistem lain maupun dari masyarakat dapat berjalan.
13. Perlu komputerisasi administrasi peradilan untuk mempermudah akses
data.
14. Perlu perbaikan segala fasilitas dan peningkatan anggaran untuk
menyelenggarakan proses peradilan pidana, terutama untuk tempat
penahanan tersangka/terdakwa dan pembinaan terpidana serta biayabiaya
operasional.
mantap bos tulisannya,, ijin dicopy boleh kan
Bang py tulisan mengenai kecendrungan putusan hakim terhadap tindak pidana korupsi dilihat dr aspek sosiologi hukum???
Dalam Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010, pasal 19 ayat (1) huruf j tertulis :
“tidak dalam pengawasan pengadilan, tidak pailit, kegiatan usahanya tidak sedang dihentikan dan/atau direksi yang bertindak untuk dan atas nama perusahaan tidak sedang menjalani sanksi pidana, yang dibuktikan dengan surat pernyataan yang ditandatangani Penyedia Barang/Jasa”
pertanyaan saya :
kapan seseorang dinyatakan “menjalani sanksi pidana”, apakah sejak ditahan dalam tahap penyidikan ATAU sejak diputus oleh hakim ?
terima kasih
thnks
thanks y….!!!!,sudahbanyak membantu dalam tugas kampus.kalau bisa ,tolong di muat cara-cara pengacara memberikan pembelaan kepada klienya ,di pengadilan .